SUGENG_RAWUH


Sabtu, 21 Mei 2011

Penegakan hukum di Indonesia



Penegakan hukum merupakan suatu polemik yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Meskipun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, yaitu tercapainya kedamaian dan ketentraman sebagai implikasi dari penegakan hukum yang formil.
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna bagi masyarakat. Namun, di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Penegakan hukum yang bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, juga berkaitan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum memang tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses atau tahapan yang saling bergantung yang harus dijalankan serta dipatuhi oleh penegak hukum dan masyarakat yang menuju pada tegaknya kepastian hukum.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, di samping itu anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk terus melanggar hukum, sehingga masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya. Apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah. Sebagian besar masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya. Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya penegakan hukum di negeri ini. Lebih parah lagi, hakim yang menjadi determinan suatu keadilan acapkali menyelewengkan otoritasnya. Tidak hanya berhenti di situ, mafia hukum dan makelar kasus berkeliaran bebas dalam birokrasi hukum indonesia.
Dalam makalah ini akan diuraikan dan dijelaskan nilai dasar hukum, mekanisme dan prosedural hukum untuk menunjang keberlangsungan penegakan hukum di indonesia, sehingga substansi hukum mewujudkan ketertiban dan keadilan masyarakat dapat terwujud.


PEMBAHASAN

1. Nilai-Nilai Dasar Hukum
Hukum tidak dapat ditekankan pada suatu nilai tertentu saja, tetapi harus berisikan berbagai nilai. Sahnya suatu hukum tidak dapat dinilai hanya dari sudut peraturannya atau kepastian hukumnya, tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai yang lain.
Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya, disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian hukum. Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan
Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum. Dengan demikian kita harus dapat membuat kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau dapat mengusahakan adanya kompromi secara proporsional serasi, seimbang, dan selaras antara ketiga nilai tersebut.
2. Penegakan hukum
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
3. Mekanisme dan Prosedural Hukum
Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Kepicikan pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan hukum masyarakat.
Substansi undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat, bahkan sering bertentangan.
Pada taraf dan situasi seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum ekonomi, lalu lintas dan tata kota yang mendasarkan diri maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral tradisional.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Dikarenakan adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
4. Aliran hukum yang berlaku di Indonesia
Indonesia mempergunakan aliran Rechtsvinding (penemuan hukum), ini berarti bahwa hakim dalam memutuskan perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara gebonden vrijheid dan vrije gebondenheid. Tindakan hakim tersebut dilindungi oleh hukum dan berdasar pada pasal 22 AB yang menegaskan “bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka hakim dipaksa atau wajib turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Bilamana undang-undang tidak mengatur suatu perkara, maka hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menemukan dan menggali nilai-nilai hukum yang tidak tertulis yang hidup di kalangan rakyat (living law). Untuk itu, ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Sementara orang lebih suka menggunakan istilah “pembentukan hukum” dari pada “penemuan hukum”, oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada.
Doktrin dan tradisi yang dianut dalam badan-badan pengadilan di Indonesia, telah mengkonsepkan hakim sebatas sebagai corong undang-undang yang mereka temukan dari sumber-sumber formal yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara doktrinal. Pendidikan hukum dan kehakiman di Indonesia telah terlanjur sangat menekankan cara berfikir deduktif lewat silogisme logika formal, tanpa pernah mencoba mendedah mahasiswa juga ke cara berfikir induktif yang diperlukan untuk menganalisis kasus-kasus dan beranjak dari kasus-kasus untuk mengembangkan case laws.
Secara formil yang menjadi sumber hukum bagi seorang hakim pada hakekatnya adalah: segala peristiwa-peristiwa bagaimana timbulnya hukum yang berlaku, atau dengan kata lain dari mana peraturan-peraturan yang dapat mengikat para hakim dan penduduk warga masyarakat yaitu terdiri dari: undang-undang, adat, kebiasaan, yurisprudensi, traktat dan doktrina.
Namun demikian hakim dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, terpaksa harus melihat sumber-sumber hukum dalam arti kata material, apabila sumber-sumber hukum dalam arti formil tidak dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu perkara yang sedang diperiksanya. Di sini perlu adanya kemandirian hakim dalam proses menyesuaikan undang-undang dengan peristiwa yang konkrit, mefungsikan hakim untuk turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak, atau bertindak sebagai penemu hukum dalam upaya menegakkan keadilan dan kepastian hukum.
Menurut von Savigny hukum itu berdasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar dari mana untuk setiap peristiwa dapat diterapkan kaedah yang cocok (Begriffsjurisprudenz). Hakim bebas dalam menerapkan undang-undang, tetapi ia tetap bergerak dalam sistem yang tertutup.
Anggapan bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan yang tertutup (logische Geschlos senheit), pada saat sekarang sudah tidak lagi dapat diterima. Scholten mengatakan bahwa, hukum itu merupakan suatu sistim yang terbuka (open systeem), kita menyadari bahwa hukum itu dinamis yaitu terus-menerus dalam suatu proses perkembangan. Hal ini membawa konsekuensi, bahwa hakim dapat bahkan harus memenuhi ruang kosong yang ada dalam sistim hukum, asal saja penambahan itu tidak mengubah sistim tersebut. Namun hakim tidak dapat menentukan secara sewenang-wenang hal-hal yang baru, tetapi ia harus mencari hubungan dengan apa yang telah ada.
Setiap undang-undang pada dasarnya dibentuk secara in abstracto atau dalam keadaan abstrak, yakni pembentuk undang-undang hanya merumuskan aturan-aturan umum yang berlaku untuk semua orang yang berada di bawah penguasaannya, sedangkan hakim menjalankan undang-undang itu secara in concreto atau dalam keadaan konkrit, yaitu yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu perkara tertentu.
Hakim dalam menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan suasana konkrit untuk menegakkan keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum (rechts zekerheid), harus dapat memberi makna dari isi ketentuan undang-undang serta mencari kejelasan dengan melakukan penafsiran yang disesuaikan dengan kenyataan, sehingga undang-undang itu dapat berlaku konkrit jika dihadapkan dengan peristiwanya.

KESIMPULAN

Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ‘rechtsstaat’. Rakyat harus diberitahu kriteria atau ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu pertanggungjawaban penegakan hukum yang akuntabel. Oleh karena itu dalam membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel perlu ada sosialisasi hukum serta penyuluhan-penyuluhan hukum secara berkelanjutan kepada masyarakat agar penegakan hukum yang akuntabel dapat diwujudkan oleh penegak hukum bersama-sama dengan masyarakat. Tidak hanya itu saja, harus ada kontrol yang memadai di dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Dikarenakan tumbuh suburnya makelar kasus dan suap-menyuap dalam proses peradilan indonesia. Dengan harapan, penegakan hukum di Indonesia dapat terwujudkan sehingga terbentuklah negara yang adil dan makmur sesuai cita-cita bangsa Indonesia


DAFTAR PUSTAKA

Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 11.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1986, hal. 21.
Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hal. 110-111.
Solly Lubis, M, Serba-serbi Politik dan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1989, hal. 48 dan 94-96.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1994, hal. 244.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Cetakan Pertama, Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002, hal. 380.
Selengkapnya...

Jumat, 20 Mei 2011

jihad dan terorisme


PENDAHULUAN

Paradigma terorisme global kini dituduhkan pada agama islam. Berbagai perang opini dan pemikiran terjadi untuk membuktikan bahwasannya islam yang mengafirmasi jihad sedang dituduh sebagai agama teroris. Hal ini bermula dari tragedi pengeboman gedung World Trade Center (WTC) pada 11 september 2001.
Paling tidak, sejak saat itulah jihad tiba-tiba mencuat menjadi kosa kata paling populer di dunia abad ini. Pemerintah Amerika segera menerjemahkannya sebagai tindakan “terorisme”. Dengan langkah cepat mereka melakukan serangkaian pembalasan dengan melancarkan serangan dan pembunuhan atau ancaman pembunuhan (teror) ke wilayah-wilayah yang dengan pandangan subyektifnya dianggap sebagai sarang teroris, antara lain Afghanistan dan beberapa negara di Timur Tengah. Mereka sangat yakin bahwa langkah tersebut dilakukan dalam rangka membebaskan masyarakat dunia dari kaum ‘teroris’. “Ini perang melawan Terorisme”, kata George W. Bush, Presiden Amerika itu. Tetapi mereka yang disebut teroris itu, justru membalik pernyataan itu. Maka kosakata terorisme berhamburan bagai meteor dan tak jelas ke mana arahnya, begitu sporadis.
Di Indonesia, term jihad dan terorisme semenjak bom bali I, 12 Oktober 2002 menjadi semakin semarak. Banyak pihak yang menuding agama islamlah yang harus bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan tersebut. Aliran islam fundamentalis di Indonesia yang terwadah dalam Jamiyyah Islamiyyah dituduh sebagai sarang teroris. Dengan pemahaman yang serampangan atas ayat-ayat jihad, mereka merumuskan jika jihad fî sabilillah dan amar ma’rûf nahi munkar harus dilaksanakan dengan cara apapun termasuk cara-cara vandalistic. Tak heran jika mereka berani mengorbankan diri untuk melakukan pengeboman di berbagai penjuru tanah air dengan iming-iming syuhada’ berdasarkan hasil interpretasi mereka tentang ayat-ayat yang mengafirmasi jihad.
Lebih jauh lagi, ketika istilah jihad muncul, citra yang tergambar dikalangan orientalis adalah bahwa pasukan muslim menyerbu ke kawasan timur tengah dan tempat-tempat lain untuk memaksa mereka (kafir) memeluk agam islam. Begitu melekatnya citra ini sehinga banyak dari argumen dari ilmuan-ilmuan muslim tentang konsepsi jihad hanya dipandang sebelah mata.[1]
 Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang terorisme dan jihad dengan harapan pemahaman sekelompok agama islam fundamentalis dan bangsa barat mampu menemukan titik terang. Sehingga visi-misi agama islam rahmatan lî al-‘Alamîn dapat terwujud dan penuduhan kaum orientalis “agama islam ialah agama yang berdiri di atas pedang” tidak pernah dilontarkan kembali.







PEMBAHASAN

Jihad dan Terorisme
Seusai perang dingin antara blok barat dan blok timur, terorisme menjelma menjadi momok bagi negara-negara maju -terutama Amerika Serikat-, setelah sebelumnya kampanye anti terorisme oleh pemerintah diangap terlalu hirau dan usang. Realitas ini cukup beralasan mengingat pada era 1990-an belum ada tindak terorisme yang mengancam eksistensi suatu bangsa ataupun stabilitas internasional.
Pertentangan ideologi nampaknya masih terjadi pasca perang dingin. Bangsa barat yang dulunya ketakutan terhadap ideologi sosialis sekarang merasa gusar dengan ideologi islamisme (fundamentalisme islam) dikarenakan gerakan-gerakannya akan membahayakan hegemoni politik, ekonomi, social budaya serta tata-nilai barat yang telah disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Untuk meredam pergerakan ideologi islamisme, bangsa barat menuduh jika mereka merupakan biang kerok terorisme dan harus diperangi, yang ternyata sejatinya hal tersebut hanya kedok semata.
Keberadaan terorisme yang kini menjadi issu internasional memang sangat menghawatirkan bagi setiap negara. Tuduhan bangsa barat -terutama Amerika Serikat- terhadap terorisme yang dialamatkan kepada agama islam patut dipertanyakan. Apakah terorisme memang dilakukan oleh segelintir penganut agama islam atau tuduhan tersebut hanya merupakan sebuah maneuver politik global untuk membungkam kekuatan kelompok islam yang mengancam keberadaan kapitalisme global yang diberhalakan bangsa barat.
Paranoid bangsa barat tersebut muncul dari persepsi jika umat islam berhasil  memperjuangkan syari’at islam secara kaffah (menghilangkan sekat-sekat negara dan berdiri di bawah negara islam), maka mereka tidak dapat lagi memegang kendali atas negara-negara islam yang selama ini mereka eksploitasi. Penjajahan fisik yang selama ini mereka lancarkan terhadap negara-negara islam kecil seperti Irak, Afganistan, dan Lebanon niscaya akan mendapatkan counter-attack dari umat islam dunia yang terayomi dalam Khilafah Islamiyyah.[2]

1.     Jihad
Secara etimologi, jihad berasal dari kata “juhd” atau “jahd”. Arti letterlijknya adalah kesungguhan, kemampuan maksimal, kepayahan dan usaha yang sangat melelahkan. Dari kata ini juga terbentuk kosa-kata “Ijtihad”. Tetapi yang terakhir ini lebih mengarah pada upaya dan aktifitas intelektual yang serius dan melelahkan dan menguras energi otak. Dalam terminologi Islam, jihad diartikan sebagai perjuangan dengan mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan manusia untuk sebuah tujuan-tujuan kemanusiaan. Pada umumnya tujuan  jihad adalah kebenaran, kebaikan, kemuliaan dan kedamaian.
Jihad dalam rangka menegakkan agama Allah selalu dibarengi dengan kata fî sabilillah. Hal itu bertujuan untuk membedakan antara perjuangan fî sabilillah dan perjuangan karena maksud lain seperti fanatisme golongan, arogansi, kerakusan, dan ambisi-ambisi lainnya. Allah Swt berfirman dalam surat an-Nisâ ayat 76,
 “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, Karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.”[3]

Fase-fase jihad dalam ranah historis
Seperti halnya masalah lain, jihad diinstruksikan secara gradual. Dalam turats disebutkan jika konsep jihad merupakan salah satu wahana dakwah islam yang seringkali mewarnai turunnya ayat Al-Qur’an. Ia dipandang hirau akan pertimbangan psikis-antropologis dan sosio-kultural masyarakat saat itu yang sedang mengalami masa transisi dari polytheism eke monotheisme, sehingga perlu adanya afirmasi hukum secara gradatif.
1)      Fase deffensive
Informasi historis secara factual menunjukkan jika saat Nabi Muhammad saw mendakwahkan ajaran islam mendapatkan protes keras dan perlawanan dari para penguasa yang otoriter dan kaum feodal, pemilik budak dan pengusaha masyarakat jahiliyyah. Mereka khawatir jika nantinya struktur kemasyarakatan dan perekonomian mereka akan tergoyahkan dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang sangat egaliter dan menjunjung tingi persamaan derajat.
Pada saat itu jihad belum diperintahkan oleh Allah Swt, kaum muslimin waktu itu hanya diperintah untuk bersabar dan tabah menghadapi siksaan kaum kafir. Dikarenakan mereka berada di Tanah Haram dan kuantitas muslimin masih kalah jauh dengan kaum kafir.
2)      Fase izin berjihad
Penindasan dan intimidasi kaum kafir makkah terus dilancarkan, namun kaum muslimin tetap kukuh pada agama islam. Hal itu menyebabkan kafir makkah mendeportasi mereka dari tanah kelahiran, akhirnya Nabi Muhammad Saw mengambil solusi mengungsikan sahabat-sahabat pemeluk islam ke Abisinia dan Madinah.
Berbagai upaya dilakukan oleh kaum kafir Makkah untuk menghalangi hijrah kaum muslimin tersebut. Salah satunya dengan membujuk raja abisinia agar menolak kehadiran umat islam di sana, namun usah itupun kembali menuai kegagalan. Seiring dengan eksodus kaum muslimin ini turunlah surat Al-Hajj ayat 22,
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah".
Dalam fase ini, kaum muslimin sebatas ‘diizinkan’ berperang, belum diperintah untuk berperang melawan teror-teror kaum kafir.
3)      Fase wajib jihad
Pada fase ini, tepatnya saat kaum muslimin telah mempunyai cukup kekuatan untuk melawan penindasan kaum kafir, perintah untuk berjihadpun kemudian diturunkan. Sebagaimana pernyataan wahyu ilahi surat al-Baqarah ayat 216,
“Diwajibkan (kutiba) atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.”
Instruksi menggunakan kalimat imperative ‘kutiba’ pada ayat di atas menunjukkan kewajiban jihad. Dan kewajiban tersebut sifatnya kolektif (fardhu kifâyah).
4)      Fase terakhir serta munculnya madzhab defensive serta offensive
Tiga fase jihad telah terlewati, dalam fase terakhir ini, Allah Swt menjelaskan limit waktu pelaksanaan jihad. Dalam fase ini terdapat dalil tranferensial surat al-Baqarah ayat 193,
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”
Dalam mengomentari ayat ini, al-Qurthubiy mengatakan ada dua pendapat mainstream ulama’ dalam menginterpretasikan ayat di atas. Satu versi mengatakan bahwa jihad wajib dilancarkan kepada kaum kafir dimanapun berada tanpa menunggu agresi dari mereka. Kesimpulan tersebut ditelurkan dari pendapat versi pertama yang menyatakan jika ayat tersebut menganulir ayat-ayat tentang jihad pada fase-fase sebelumnya. Sehingga elaborasi mereka akan ayat di atas merumuskan madzhab jihad offensive. Pada perkembangan selanjutnya, madzhab ini menjadi funding father lahirnya islam fundamentalis-radikalis. Sedangkan versi kedua menegaskan jika ayat di atas tidak menganulir ayat-ayat jihad pada fase-fase sebelumnya. Mereka menambahkan jika instruksi jihad dalam ayat di atas hanya terbatas untuk memerangi kafir yang melakukan agresi dan penganiyayaan terhadap umat muslim. Versi kedua ini nampaknya merupakan hipotesis deduktif yang dipakai sebagian ulama untuk membangun madzhab jihad deffensive. Prinsip dari madzhab ini ialah jihad hanya merupakan upaya untuk mempertahankan kelangsungan agam islam dari segala bentuk tekanan dari kaum kafir.[4]


2.     Terorisme
Istilah terorisme mulai digunakan akhir abad ke-18, terutama kekerasan pemerintah untuk mewujudkan ketaatan rakyat. Konsep ini pendeknya menguntungkan bagi para pelaku terorisme Negara yang memegang kekuasaan yang berada dalam posisi mengontrol pikiran dan perasaan. Seiring berjalannya waktu, istilah terorisme beralih dari arti aslinya dan ditujukan untuk makna “terorisme pembalasan” oleh individu atau kelompok-kelompok.
Michael Kinsley (dalam Praja, 2001) mendefinisikan Terorisme sebagai berikut :
“Terorism has multiple faces and may be hiding under the name of a religion, philosophy, politics, or any other name. Terorism is a way of life. It may be a part of the history of human civilization and culture. Defining terorism is most important in order not to be changeable between “terorism” and “the warrior of freedom”
“Terorisme memiliki banyak wajah dan dapat bersembunyi di bawah nama agama, filsafat, politik, atau nama lain. Terorisme adalah cara hidup. Ini mungkin sebuah bagian dari sejarah peradaban manusia dan kebudayaan. Mendefinisikan terorisme yang paling penting agar tidak berubah-ubah antara "terorisme" dan "pejuang kebebasan.”
Pengertian tersebut menjelaskan bahwa terorisme terjadi dengan adanya kepentingan yang menyangkut agama, paham, politik dan sejenisnya. Tindakan terorisme dijadikan oleh pelaku sebagai pandangan hidup sehingga pelaku bisa melakukan pembenaran secara sepihak atas tindakan teror yang telah dilakukan. Terorisme berupaya untuk menumbangkan agama, paham, politik dan sejenisnya yang berlainan dengan pelaku teror. Tindakan terorisme acapkali mengaburkan khalayak perihal tujuan utama yang hendak dicapai dan seringkali hanya merupakan ancaman yang mampu memberikan ketakutan bagi khalayak. Hal ini berbeda dengan ‘perang pembebasan’ yang jelas menunjukkan antara pihak yang berperang dan memiliki tujuan untuk bebas dari belenggu penjajahan.[5]
Menurut Thornton, terorisme mempunyai 4 jenis, criminal, psikis, perang, dan politik. Terorisme criminal ialah penggunaan teror secara sistematis untuk mencapai tujuan-tujuan material; terorisme psikis ialah penggunaan teror untuk tujuan-tujuan agama; terorisme perang ialah penggunaan teror untuk melumpuhkan lawan dan memenangkan pertarungan. Sedangkan terorisme politik ialah penggunaan teror yang sistematis dan menuntut kebijaksanaan berkelanjutan, baik dilakukan oleh Negara, organisasi, atau kelompok-kelompok individual.[6]
Dari klasifikasi terorisme di atas dapat dimengerti bahwa ancaman yang bertujuan keagamaan, dan kekerasan perang yang bertujuan menghancurkan merupakan tindakan terorisme. Berangkat dari situ, pertanyaannya sekarang apakah jihad yang mendapat legalisasi dalam islam termasuk tindakan terorisme?
Perlu ditegaskan bahwa tidak ada bangsa, agama, dan generasi yang terbebas dari perang, tak terkecuali agama islam. Ibnu khaldun (1332-1406) pernah menyatakan statemen bahwa perang dan berbagai bentuk pertempuran selalu terjadi sejak Allah swt menciptakan dunia ini. Dalam berperang, keperluan untuk mempertahankan diri dengan melemahkan musuh merupakan strategi. Petarung-petarung dalam berperang hanya dapat melihat tiga kemungkinan:
1)      Mengalahkan musuh dengan strategi, termasuk didalamnya ialah menteror untuk menciutkan nyali musuh.
2)      Dikalahkan musuh.
3)      Melakukan perjanjian damai.
Jadi tidak ada satupun peperangan yang bersih dari strategi dan teror, tak terkecuali perang crussade (perang salib) dalam tradisi Kristen dan jihad dalam tradisi islam.
Sementara di sisi lain, kehancuran akibat perang merupakan keniscayaan, dikarenakan tidak ada perang yang terlepas dari dampak itu. Akan tetapi, jihad tidak pernah menjadikan kehancuran sebagai motif, melainkan ia dikorbankan demi tujuan berikut:
1)      Demi mempertahankan hak-hak umat islam dan perampasan atas kemerdekaannya.
2)      Memberantas fitnah dan menanggulangi perampasan hak-hak asasi manusia (HAM) yang menyumbat kebebasan individu umat islam.
3)      Mempertahankan diri dari agresi kaum kafir.
Beberapa tujuan di atas dilatari oleh terjadinya kasus-kasus yang disebabkan tidak adanya kemerdekaan individu umat islam, fitnah yang merajalela, berkembangnya kemusyrikan dan bebagai intimidasi yang ditujukan kepada kaum muslimin supaya mau meninggalkan agama islam. Apabila kasus-kasus tersebut dapat diselesaikan dengan amar ma’ruf nahi munkar, petunjuk nyata, diplomatis, maka tidak perlu ada peperangan.
Sementara, untuk meminimalisir kehancuran yang disebabkan peperangan, islam merumuskan aturan aturan sebagai kode etik yang dapat menjaga kesopanan dan menghormati derajat manusia, diantaranya:
1)      Tidak boleh merusak daerah musuh dengan membakar, kecuali langkah tersebut merupakan alternativ terakhir.
2)      Menjamin keselamatan pihak musuh yang datang secara resmi kepada pihak muslimin.
3)      Tidak boleh mengganggu bahkan membunuh wanita dan anak-anak.
4)      Tidak boleh memerangi musuh yang kepada mereka belum sampai dakwah islam, kecuali setelah diajak masuk islam dan penerangan, akan tetapi mereka melawan. Tinta emas sejarah islam mencatat jika Nabi Muhammad Saw pernah mengirimkan utusan-utusan kepada raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Diantaranya kepada Hiraclius penguasa Rumawi, Neghus raja Ethiopia Abrawis raja Kisra, Mundzir bin Sawa raja Bahrain.[7]  
Jelaslah sudah bahwa islam tidak pernah menjadikan penghancuran sebagai motif jihad, melainkan jihad lebih dikonsentrasikan pada tujuan perlindungan terhadap agama Allah Swt (hifdz ad-Dîn), menjamin kebebasan individu dari agresi penjajah, pemberantasan fitnah dan upaya mewujudkan stabilitas umum. Sedangkan penggunaan teror yang bertujuan melumpuhkan lawan merupakan strategi semata. Dan strategi semacam itu tidak pernah lepas dari semua peperangan sepanjang sejarah.




















PENUTUP
Ulasan tentang terorisme dan jihad di atas penyusun maksudkan untuk menampik asumsi barat yang mengkleim jika islam adalah teroris karena dalam ajarannya terdapat konsep jihad. Sejatinya, tidak hanya agama islam yang mempunyai konsep perang, agama Kristen juga mempunyai konsep perang yang dikenal dengan crussade (perang salib).
Menurut Azzumardi Azra, konsep crusade merupakan “perang kata-kata” sekaligus “perang dengan perang.” Sedangkan menurut Khadduri, konsep crusade selain dibentuk Romawi kuno oleh tokoh besar semacam St. Agustine dan Isodorre de Seville juga dikonsepsikan oleh St. Thomas Aquinas pada abad pertengahan.
Fakta adanya konsep crussade dalam agam Kristen dapat dibuktikan dengan terjadinya agresi kaum salibis ke Afganistan. Semula agresi tersebut menggunakan sandi “crusssade”. Namun setelah menuai protes, sandi tersebut diganti dengan “operation infinite justice”. Kata tersebut ternyata juga berasal dari terminology Kristen, yang jika dirunut ternyata kembali kepada konsep “perang salib.”
Umat islam sebenarnya lebih berhak berteriak “bangsa barat –terutama Amerika Serikat- adalah dedengkotnya terorisme.” Dengan bukti bahwa pada tahun 1991, Amerika melalui PBB telah mengembargo Irak. Hal itu menyebabkan lebih dari 600.000 bayi di Irak mati kelaparan. Dalam periode kepemimpinan Taliban (1994-2001), mereka menyerbu afganistan dengan dalih war of terrorism dan mengembargo Negara terebut melalui trik PBB. Ratusan ribu warga palestina dibantai oleh Israel atas restu Pentagon, sementara Amerika Serikat ikut membantu peralatan perang sekaligus finansial Israel. Dunia melihat dengan mata telanjang jika yang menjadi korban ialah murni rakyat sipil muslim. [8]
















DAFTAR PUSTAKA


Anam, Khoirul, Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer, Yogyakarta, Ide Pustaka: 2009.
Chomsky, Noam, Menguak Tabir Terorisme Internasional, alih bahasa Hamid Basyaib, Bandung: Mizan, 1986.
Kopral,Kontekstualisasi Turats, Kediri: Purna Siswa MHM 2005, 2005.
Ramdhun, Baqi, Abdul, Jihad Jalan Kami, alih bahasa Darsim Ermaya Imam Fajaruddin, Solo: Era Intermedia, 2002.
Team Sejarah 2010 (ATSAR), Lentera Kegalapan Untuk Mengenal Pendidik Sejati Manusia, Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010.







[1] Kopral,Kontekstualisai turats, Kediri: Purna Siswa MHM 2005, 2005, hal 224.
[2] Khoirul Anam, SHI., MSI., Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer, Yogyakarta; Ide Pustaka, 2009, hal 155-157. 
[3] Abdul Baqi Ramdhun, Jihad Jalan Kami, alih bahasa Darsim Ermaya Imam Fajaruddin, Solo: Era Intermedia, 2002, hal 11.
[4] Kopral,Kontekstualisasi Turats, Kediri: Purna Siswa MHM 2005, 2005, hal 231.
[5] Noam Chomsky, Menguak Tabir Terorisme Internasional,alih bahasa Hamid Basyaib, Bandung: Mizan, 1986, hal 20-22.
[6] Kopral,Kontekstualisasi Turats, Kediri: Purna Siswa MHM 2005, 2005, hal 238.
[7] Team Sejarah 2010 (ATSAR), Lentera Kegalapan Untuk Mengenal Pendidik Sejati Manusia, Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010, hal 511.
[8] Kopral,Kontekstualisasi Turats, Kediri: Purna Siswa MHM 2005, 2005, hal 242.
Selengkapnya...

rai gedheg


RAI GEDHEG
Written by: fattach yaseen

Rai gedheg, tak tahu malu, orang sunda menyebutnya sebagai kandel kulit beungeut, orang Madura mengatakan tak endik todus, sementara orang bali akan bilang sing lek, didekat bali tepatnya pulau Lombok orang berbahasa sasak punya istilah, codol kedul atau ngodol. Kearah timur lagi, pulau Sumbawa, warga setempat yang berbahasa bima akan mengatakan tiwara waja. Di kabupaten Flores Timur, warga yang berbahasa lamaholot punya istilah mian take. Selain itu, di Sulawesi Selatan, orang-orang bugis memiliki ungkapan degage siri’na. Nah, diantara berbagai bahasa kemajemukan bangsa Indonesia, bahasa batak yang mempunyai sinonim dengan istilah rai gedheg yang mungkin paling menarik. Bagi sebagian mereka, dang maila mungkin dianggap cukup, akan tetapi ungkapan yang paling tepat kiranya ialah baba nion. Baba berarti wajah dan nion adalah bibir. Bukan bibir sembarang bibir, namun bibir yang super tebal. Begitu tebalnya bibir itu akibat membual, wajahnya sampai tertutupi. Jadi orang-orang yang tak tahu malu oleh orang batak dilukiskan dengan kiasan baba nion.
Dinegeri-negeri barat gudangnya guilt culture(budaya merasa bersalah) berkembang pesat di kalangan masyarakat, banyak sebutan untuk orang-orang rai gedheg. Orang italia menyebutnya la faccio di fil de ferro. Orang jerman punya ungkapan schame dich nicht. Bahasa inggris ternyata yang paling kaya dengan istilah yang berarti rai gedheg, with bamboo wall-face, with unshamed face, dapat juga dengan unembarased or unrespectful face, atau juga pig-headed. Sang pujanga kawakan William Shakespeare punya istilah sendiri untuk mengungkapkan istilah rai gedheg, shameless atau thick skinned.
Berbagai bahasa diatas meskipun beraneka namun intinya hanya satu, menganugerahkan titel bagi orang yang tidak punya ke-malu-an. Begitu pentingnya rasa malu dalam dimensi kehidupan ini, tidak mengherankan jika jauh-jauh hari sebelum bejibun istilah yang membuat lidah keriting mengejanya, Baginda Agung Muhammad saw telah memberikan warning kepada umatnya untuk selalu menggunakan ke-malu-an dalam setiap tindakan,
“Idza lam tastahyi, faf’al mâ syi`ta, (ketika kamu tidak memiliki kemaluan, maka lakukanlah sekehendak kamu).”
Bahkan, saking pentingnnya ke-malu-an, ajaran agama islam memberikan porsi lebih terhadap hal tersebut. Kanjeng Nabi telah mewanti-wanti kepada umatnya lewat salah satu diktum beliau,
Al-Hayâ` min al-Îmân, (Malu merupakan bagian dari iman).
Bayangkan, ke-malu-an yang sering dianggap remeh tersebut diposisikan syarî’at islam menjadi salah satu elementer iman, pra syarat seseorang dapat disebut sebagai mu`min dan muslim. Namun sayang seribu sayang, komplotan pejabat yang dalam KTP mereka tertulis agama islam dan saat pelantikan mengucapkan dua kalimat syahadat seolah mengenakan topeng rai gedheg. Dengan tanpa melirik ke-malu-an, mereka menggasak dan merampas harta rakyat. Parahnya, gerombolan orang yang memproklamirkan diri mereka sebagai intelektual muda islam dengan mengibarkan bendera Jaringan Islam Liberal ngrai gedheg. Tanpa tedeng aling-aling, mereka ingin merekonstruksi ajaran agama seenal udel sesuai analisa dangkal dengan alih-alih pembaharuan dan kontekstualisasi teks. Lebih parah lagi, sindikat yang mengusung jargon ‘kembali kepada al-Qur`an dan Hadist’ juga ngrai gedheg. Dengan berkedok bid’ah, mereka koar-koar menyatakan jika tahlilan sesat, tawassul kufur, orang yang merayakan maulud nabi sama hukumnya dengan orang kafir, parah!!! Lebih celaka lagi, kaum sarungan yang nota bene-nya mempelajari dan mendalami ajaran islam yang original serta sesuai dengan formulasi racikan salaf ash-Shâlihîn melalui usaha elaboratif teks-teks otoritatif hanya berpangku tangan melihat dan mendengar keruwetan birokrasi serta kerancauan pemahaman agama yang sporadis dewasa ini. Seolah telinga mereka disumpeli dan mata disilaukan dengan hal-hal yang kurang begitu penting. Pertanyaannya sekarang, masihkah sekarang kita yang merupakan golongan terakhir hanya berpangku tangan dan tetap setia menjadi klompencapir dengan fenomena kebrobrokan aparatur pemerintah serta kerancauan pemahaman agama yang tengah mengalami titik kulminasi???

Selengkapnya...

obyektifitas



Obyektifitas
Written by: fattach yaseen




Pitutur bener iku
Sayektinê, becik dên ditiru
Senajan metu
Soko wong sudro pêpêki

Mungkin gendang telinga yang telah sering disapa oleh lengkingan maut sang vokalis Gun’s And Roses, Axl Rose. Bruce springsteen sang vokalis Iron Maiden, dan suara emas Celine Dion yang mampu mencapai tujuh oktaf. Atau malah sering dibuai oleh suara desahan Julia Peres dengan tembang belah durian yang mfuih!!! Merangsang buanget. Atau bagi pendengaran yang sering dirobek-robek oleh lengkingan melodi Sang dewa gitar, Edy Van Hallen, Steven Vai, Yngwie Malmsteem, Joe Satriani. Atau malah sering dimanjakan dengan gendang koplo maut sang Bruddin Palapa akan merasa asing dengan sederet kalimat jawa di atas. Kalau di dalam sastra arab kita mengenal istilah wazan, zihaf, syatar dan kroni-kroninya untuk menyusun sebuah syair dan qâsidah dalam ilmu ‘arudh. Nah, dalam sastra jawa terdapat istilah guru lagu dan guru gatra untuk membidani sebuah macapat, seperti untaian kata-kata kejawen di atas. Mungkin keindahan bahasa macapat tidak ada sekuku irêng dari tujuh mu’allaq buah karya Amru Qais , Zuhair, Tharafah, Nabighah, Antarah, Amru bin Kultsum dan Harits bin Hilizah yang digantungkan di dinding Ka’bah pada masa dark age, jahiliyyah. Yang menjadi magnum ovus yang tak lekang oleh gerusan zaman. Namun jika kita mau membongkar makna yang tertimbun dibawah reruntuhan untaian macapat yang membikin rambut keriting bagi orang-orang yang sok british. Maka, akan kita temukan segudang filosofi kehidupan yang tak kalah digdaya dengan filsafat-filsafat yunani kuno hasil elaborasi Plato, Socrates, Descrates dan kawan-kawan.
Pesan moral yang ingin disampaikan mbah-mbah kita lewat macapat diatas ialah. Menekankan obyektifitas dan membuang jauh-jauh ke laut subyektifitas didalam setiap dimensi kehidupan. Acapkali kita menutup mata dan menyumpeli telinga jika ada orang yang status sosial, kredibelitas intelektual ataupun kekayaannya dibawah kita menyampaikan suatu kalam hikmah, saran, ataupun kritik. Seorang tamatan sering mengatakan “Ngerti opo cah tsanawiy anyaran”. Seorang pemimpin yang otoriter sering mengatakan ”Tahu apa kamu tentang urusan atasan”. Orang yang kaya sering menyemburkan ”Wong kêrê rasah omong”. Nah, jika dalam dimensi kehidupan tetap mengenakan kaca mata subyektifitas yang hitam pekat dalam mata batin untuk menyikapi jika ada orang lain yang notabene dibawah kita menyampaikan saran ataupun kalam hikmah. Niscaya, benteng arogansi dan kecongkakan akan bertambah kuat bercokol dalam diri kita. Semestinya kita bisa memetik hikmah mengapa iblis mendapatkan hibah “laknat” setelah dia memberang tidak mau sujud kepada Mbah Nabi Adam. Karena kesombongan yang bercokol dalam dirinya akibat subyektifitas yang menjadi madzhab pemikirannya. Ia berdalih jika dirinya yang tercipta dari api lebih mulia daripada Nabi Adam yang diciptakan dari tanah liat. Seharusnya kita harus mau menerima saran, kritik ataupun kalam hikmah dari orang yang kita anggap inferior tanpa memandang siapa yang mengatakan. Namun, menitik beratkan kepada apa yang dikatakan. Semestinya kita mau mengambil pesan moral yang ingin disampaikan oleh Kanjeng Nabi ketika akan perang Khandaq. Dengan penuh antusias Beliau mau menerima pendapat dan saran Salman AL-Farisiy agar menggunakan strategi pertahanan menggunakan parit untuk menahan serangan musuh-musuh islam yang ingin menggempur kota Yastrib. Padahal kita tahu, semua orang muslim pasti juga tahu dan setuju jika baginda Nabi Muhammad memang sosok manusia ma’sum dan sempurna. Basyarullah lâ kalbasyariy. Namun, Baginda agung Muhammad tidak disilaukan dengan atribut-atribut duniawi yang disematkan kepada beliau saat itu. Sebagai seorang pemimpin, beliau mau membuka keran-keran saran dan usul bagi bawahannya. Bukannya malah menutup mata dan menyumpeli telinga dengan subyektifitas. Beliau sangat menekankan obyektifitas kepada pemeluk agama rahmatan lî al-‘Alamîn melewati pesan Universal jauh-jauh hari sebelum wong jowo telah memformulasikan karya sastra macapat, Undzur mâ qâla walâ tandzur man qâla (Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan).
Nah, sekarang jika ada orang yang notabene jauh di bawah anda menyampaikan kritik dan saran apakah anda masih tetap memakai kacamata subyektifitas untuk memandangnya? Penulis yaqin jika anda akan membuang jauh-jauh kacamata subyektifitas dan menggantinya dengan teropong obyektifitas. So, penulis yang sudro pêpêki van kaum proletar ingin menyampaikan pesan moral “Jangan anggap enthêng goresan-goresan hasil analisa dangkal menggunakan pisau bedah otak kumprung penulis di atas”
Once againt, “Undzur Mâ Qâla Walâ Tandzur Man Qâla”.
Wallahu A’lâm bî ash-Shawâb!!!

Selengkapnya...