SUGENG_RAWUH


Minggu, 19 Juni 2011

SEBAIKNYA TIDAK POLIGAMI

SEBAIKNYA MEMANG TIDAK POLIGAMI



Sejarah peradaban Islam mencatat paling tidak tiga masalah krusial berkaitan dengan relasi seksual laki-laki dan perempuan. Masing-masing menyimpan problematikanya sendiri-sendiri dalam skala yang cukup rumit dan menyulut perdebatan yang tak pernah selesai. Ketiga-tiganya sama-sama muncul ke permukaan sebagai warisan kebudayaan pra Islam yang sangat akut dan mengakar. Dalam perjalanannya kemudian masing-masing mengalami proses sosio-kultural-politik yang berbeda. Ada yang hilang, ditolak secara luas dan diterima secara luas. Tiga masalah tersebut adalah relasi seksual karena milk al yamin (perbudakan), relasi seksual mut’ah atau kawin kontrak, dan ta’addud al zaujat atau poligami. Isu yang pertama (perbudakan) hilang tanpa ada kejelasan status hukumnya dalam bentuknya yang eksplisit. Isu yang kedua (mut’ah) ditolak oleh mayoritas ulama sunni dan isu ketiga (ta’addud al zaujat) diterima secara luas. 

Pada saat Islam hadir di tengah-tengah masyarakat Arab, ketiga masalah di atas kemudian dipandang sebagai problem sosial serius yang harus dipecahkan secara ekstra hati-hati. Dengan Al Qur-an di tangan Nabi Muhammad kemudian berusaha untuk mengatasi problem kultural tersebut melalui pendekatan-pendekatan kultural yang secara evolutif dan gradual menuju bentuknya yang lebih baik. Al Qur-an melihat realitas tersebut sebagai keniscayaan kultural yang tidak mungkin dihapuskan secara sekaligus, karena penghapusan seketika dapat dipastikan akan mengakibatkan kegoncangan sistem sosial yang telah mapan demikian mengakar. Pendekatan transformasi evolutif dan gradual atas budaya atau tradisi akut seperti ini sejatinya tidak hanya menyangkut ketiga persoalan di atas, melainkan juga terjadi pada kasus-kasus yang lain, seperti perzinahan dan minum-minuman keras. Keharusan melakukan pendekatan seperti ini diungkapkan Siti Aisyah, isteri Nabi saw. Ia pernah mengatakan : “Andaikata al Qur-an tiba-tiba saja menyatakan : ‘jangan kalian minum-minuman keras, niscaya mereka akan mengatakan :  ’kami tidak akan meninggalkannya’ atau “jangan kalian berizina, niscaya mereka akan mengatakan : ‘ kami tidak akan meninggalkannya”. Karena itu proses dialektis dan akomodatif secara persuasif adalah merupakan cara terbaik yang harus dilakukan oleh al Qur-an.

 Dalam waktu yang bersamaan al Qur-an juga mengarahkan audiensnya pada upaya-upaya perubahan secara gradual-progresif ke arah terciptanya sistem sosial yang humanis. Sistem sosial ini didasarkan pada  prinsip-prinsip moral universal yang secara substansial bersisi antara lain ; kemerdekaan (al hurriyyah), kesetaraan (al musawah), keadilan (al ‘adalah), toleransi (al tasamuh) dan penghargaan atas martabat manusia (karamah insaniyah). Nilai-nilai prinsipal ini sejatinya merupakan dasar-dasar kemanusiaan yang menjadi konsekwensi logis dari prinsip utama Islam yaitu Tauhid.

Problem Poligami

Seperti juga problem perempuan yang lain, isu poligami juga lahir sebagai keniscayaan peradaban patriarki, peradaban yang  merendahkan perempuan. Jauh sebelum Islam datang peradaban ini telah lama bercokol bukan hanya di wilayah Jazirah Arabia, tetapi juga dalam banyak peradaban kuno lainnya seperti di Mesopotamia dan Mediterania bahkan hampir di seluruh bagian dunia lainnya. Budaya poligami ini merupakan bagian yang tak lepas dari perhatian al Qur-an.

Jika kita membaca teks-teks al Qur-an secara holistik, maka akan sangat tampak bahwa perhatian kitab suci terhadap persoalan ini muncul dalam bentuk “taqlil” , yakni mereduksi jumlahnya. Sebagaimana diketahui dalam sejarah, sebelum kedatangan Islam laki-laki dipandang sah untuk mengambil isteri sejumlah dan sebanyak yang dikehendaki, tanpa batas. Masyarakat memandang praktik ini sebagai sesuatu yang lumrah, sesuatu yang umum, dan bukan praktik yang salah. Bahkan untuk sebagian komunitas tertentu merupakan kebanggaan. Al Qur-an kemudian turun untuk mereduksi dan meminimalisasi jumlah tak terbatas itu sehingga menjadi hanya empat orang saja. Informasi mengenai kenyataan  ini terungkap dalam sejumlah hadits Nabi saw. Beberapa di antaranya hadits Ibnu Umar. Katanya : “Ghilan al Tsaqafi ketika masuk Islam mempunyai sepuluh orang isteri. Mereka semua masuk Islam bersamanya. Nabi kemudian memerintahkan dia mengambil empat orang saja”.(H.R. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirimidzi). Qais bin Harits mengatakan ; “Aku masuk Islam dan aku mempunyai delapan orang isteri. Aku kemudian mendatangi dan menceritakannya kepada Nabi saw. Nabi kemudian mengatakan : “Pilih empat di antara mereka”. (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah).  Keputusan reduksi dan minimalisasi oleh al Qur-an melalui Nabi saw sudah pasti tidak tanpa maksud dan alasan yang penting. Kemungkinan paling kuat adalah bahwa poligami sesungguhnya merupakan tindakan yang merugikan perempuan. Poligami membuat penderitaan batin bagi para isteri baik yang menjadi madunya dan terutama bagi isteri pertamanya. Bahkan dalam kondisi normal, sebetulnya berapa banyak laki-laki yang akan dengan senang hati menjodohkan anak perempuannya atau adik perempuannya dengan laki-laki yang sudah mempunyai isteri (dipoligami). Poligami juga seringkali menimbulkan kesulitan-kesulitan lain yang bisa mengantarkan pada situasi tidak harmonis baik dalam hubungan-hubungan di dalam rumah tangga maupun antar keluarga mereka. Jika kenyataan ini telah menjadi problem ruwet kehidupan rumah tangga, maka sangat jelas bahwa ia sesungguhnya tidak sejalan dengan missi perkawinan yang digariskan al Qur-an ; menciptakan kehidupan yang sakinah (tenteram), mawaddah (cinta kasih) dan rahmah (rahmat). 

Membaca ayat Poligami

Satu-satunya ayat al Qur-an yang membicarakan soal dan menjadi dasar keabsahan  poligami sampai empat orang tersebut terdapat pada surah al Nisa, 2-3 yang secara lengkap berbunyi (terjemahan Depag) :

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang  besar.(2). Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat bagi kamu untuk tidak berbuat aniaya”.(3).[1]

Dari sisi missi utama ayat ini tampak jelas bahwa ia tengah berbicara tentang kasus anak-anak yatim yang kehilangan (kematian) ayah. Mereka adalah anak-anak yang belum dewasa dan tidak punya ayah. Mereka sangat tergantung kepada orang lain, membutuhkan perlindungan, pemeliharaan dan terutama dalam soal kebutuhan financialnya yang pada saat itu ada di tangan laki-laki. Tuhan menyerukan agar masyarakat muslim memberikan perhatian, perlindungan dan pemeliharaan terhadap mereka dengan serius. Jika mereka mempunyai kekayaan, para pengasuh (wali) harus menyerahkannya ketika mereka dewasa. Dalam pandangan Islam, para anak yatim adalah anak manusia yang berada dalam posisi lemah. Oleh karena itu adalah kewajiban Islam untuk memperkuat mereka secara mental, moral maupun secara financial.  Pengasuh anak-anak yatim diharuskan memperlakukan mereka dengan cara-cara yang baik dan adil. Para wali tidak dibolehkan memanipulasi atau mengkorupsi harta mereka. Mujahid, Sa’id bin Jubair Ibnu Sirin, Muqatil bin Hayyan, al Siddi dan Sufyan bin Husein mengatakan : “jangan kamu campuradukkan hartamu dan harta mereka lalu kamu memakan semuanya”. Said bin al Musayyab dan al Zuhri mengatakan : “jangan anda berikan kepadanya yang kurus sementara anda mengambil yang gemuk”.[2]

Ketika para wali tidak mampu bertindak adil, maka kepada mereka dianjurkan mengawini perempuan, dua atau tiga atau empat.[3]  Dengan begitu sesungguhnya telah jelas bagi kita untuk mengemukakan sekali lagi bahwa maksud pertama dan missi utama ayat ini adalah perlindungan terhadap manusia-manusia yang lemah atau tak berdaya melalui cara-cara yang adil dan bukan dalam kerangka anjuran untuk melakukan poligami. Keadilan merupakan prinsip dalam relasi antar manusia bukan hanya dalam masalah poligami bahkan juga bagi hubungan-hubungan kemanusiaan yang lain.

Lalu siapakah yang dimaksud dengan kata “al nisa” (perempuan-perempuan) dalam ayat tersebut, apakah perempuan-perempuan itu adalah perempuan-perempuan yang menjadi ibu anak-anak yatim tadi (janda-janda) atau perempuan-perempuan yang lain siapa saja. Terhadap pertanyaan ini kita mendapatkan pandangan yang beragam dari para penafsir al Qur-an. Jika kita terjemah-tafsirkan kedua pandangan tafsiran  ini, maka ia akan berbunyi :

“Jika kamu (para pengasuh anak-anak yatim) khawatir tidak bisa bertindak adil (manakala kamu ingin mengawini mereka), maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat...”.

“Jika kamu (para pengasuh anak-anak yatim) khawatir tidak dapat bertindak adil (manakala kamu ingin mengawini mereka), maka kawinilah perempuan-perempuan (yang menjadi ibu-ibu mereka) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat...”.

Kecenderungan mayoritas besar para ahli tafsir adalah pada penafsiran pertama. Maka, menurut tafsir ini, laki-laki yang ingin poligami dia  dibebaskan memilih perempuan yang mana saja yang disenanginya, boleh perawan, boleh janda atau perawan dan janda.

Penafsiran kedua dikemukakan oleh pemikir muslim kontemporer Muhammad Sahrur, sebagaimana dikemukakan dalam bukunya : “Al Kitab wa al Qur-an Qira-ah Mu’ashirah dan  “nahwa ushul jadidah” (menuju metodologi fiqh baru). Jadi menurut Syahrur perempuan-perempuan yang dimaksud adalah janda-janda yang mempunyai anak-anak yatim.[4]

Penafsiran Sahrur ini tentu terasa asing bagi kebanyakan orang, tetapi saya kira pandangan ini merupakan kemungkinan yang menarik. Sahrur bukan tidak punya logika yang patut dipertimbangkan. Jika alur ayat ini dimaksudkan sebagai upaya advokasi terhadap anak-anak yatim yang tak berdaya, maka perlindungan terhadap para anak-anak yatim sekaligus ibu mereka  tentu lebih masuk akal. Dua kelompok manusia ini memang orang-orang yang dipandang lemah. Dan ini merupakan bagian dari consern utama Islam.  Meskipun begitu, dengan teori yang dibangunnya : “batasan minimal dan maksimal” (hududiyah), Sahrur tetap membolehkan poligami sampai empat berdasarkan pertimbangan konteks sosialnya, misalnya, kata dia, ketika dalam konteks perang dan jumlah laki-laki berkurang atau dengan kata lain jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki.[5]

Yang paling menarik lagi adalah tafsir yang dikemukakan oleh ahli tafsir terkemuka, Imam al Qurthubi, seperti dikutip dan diinterpretasikan dengan cukup menawan oleh Faqihuddin, penulis buku ini. Ini terutama menyangkut kalimat : “Ma thaba lakum min al nisa”. Al Qurthubi menyampaikan pandangan yang  berbeda dari tafsir mainstream. Ayat tersebut tidak ditafsirkan/diterjemahkan sebagai “perempuan-perempuan yang kamu sukai, atau yang baik bagi kamu”, melainkan : “perempuan-perempuan yang menyenangimu atau suka kepada kamu”. Tafsir ini ingin menegaskan bahwa poligami tidak bisa dilakukan secara sepihak, yakni atas kehendak laki-laki semata, melainkan perlu mempertimbangkan hak perempuan, bahkan tampak di situ pertimbangan perempuan menjadi lebih utama. Dengan begitu, al Qurthubi melihat bahwa orang yang ingin dan pro poligami hendaknya mempertimbangkan hak-hak perempuan dan kerelaan mereka. Perkawinan adalah salah satu transaksi yang memerlukan kesepakatan dua pihak yang bertransaksi seperti transaksi yang lain.

Mengapa empat?

Mengapa al Qur-an menetapkan jumlah maksimal empat orang perempuan yang boleh dikawini dalam waktu sekaligus, bukan tiga, lima, tujuh atau bilangan lain. Inilah pertanyaan yang jarang ditemukan jawabannya dalam perbincangan isu poligami, termasuk dalam banyak kitab klasik. Kebanyakan orang menerimanya secara taken for garanted. Itu adalah kebijakan Tuhan yang tidak perlu ditanyakan mengapa?. Ini memang menjadi bagian dari problem epistimologis yang kontroversial, apakah keputusan Tuhan selalu mengandung “illat” atau tidak : “hal al ahkam mu’allalah bi ‘illah am la”. Terhadap hukum yang tidak bisa dirasionalkan, para ulama selalu menyebut “hikmah”. Dengan kata lain mereka mengatakan bahwa keputusan tersebut pasti mengandung “hikmah”, kebijakan/kearifan. Tidak ada keputusan Tuhan yang sia-sia. Dari sini, maka adalah sangat menarik bagaimana pandangan Ibnu al Qayyim al Jauziyah, tokoh salafi terkemuka, mengenai persoalan ini. Ia mengatakan :

“Dibatasinya jumlah perempuan yang bisa dipoligami sampai dengan empat dan dibolehkannya mengawini perempuan budak (hamba sahaya) dengan tanpa batas adalah merupakan kesempurnaan nikmat dan syari’at Allah. Ia sejalan dengan hikmah, kerahmatan dan kemaslahatan. Karena nikah pada dasarnya dimaksudkan sebagai penyaluran kebutuhan biologis. Ada sejumlah orang yang tingkat kebutuhan biologis (hasrat seksual) nya sangat kuat. Maka dia tidak cukup hanya menikah dengan satu orang perempuan. Oleh karena itu diberikanlah kepadanya hak menikahi perempuan yang kedua, ketiga dan keempat. Jumlah empat ini sesuai dengan watak (thiba’) orang (laki-laki, pen) dan jumlah musimnya dalam satu tahun (fushul sanatihi). Pada sisi lain, laki-laki  dapat memulai kembali ke isterinya yang pertama sesudah bersabar dari tiga isterinya yang lain. Angka tiga adalah awal dari penyebutan jumlah banyak. Tuhan atau Nabi dalam beberapa keputusan hukumnya memberikan kemudahan/kebolehan sampai bilangan tiga. Orang yang berhijrah boleh bermukim (beristirahat) selama tiga hari sesudah melaksanakan hajinya di Makkah. Orang yang bepergian (musafir) dibolehkan tidak berwudhu tetapi cukup mengusapkan air ke sepatunya (khuff) selama tiga hari. Batas maksimal (kewajiban atau anjuran) memberi makan kepada tamu adalah tiga hari. Masa berkabung seorang perempuan atas kematian selain suaminya adalah tiga hari. Perasaan menggebunya kasih suami terhadap  isteri ‘madu’ setelah tidak bersama suaminya adalah tiga hari sesudah itu ia akan kembali. Ini adalah betul-betul sebuah rahmat, kearifan dan kemasalahatan. Sementara terhadap para perempuan hamba sahaya tidak berlaku sebagaimana terhadap perempuan merdeka. Para perempuan hamba sahaya statusnya sama dengan harta benda, seperti kuda, budak laki-laki dan lain-lain. Pemiliknya boleh jadi tidak hanya cukup dengan empat. Dia dapat memanfaatkannya untuk keperluannya berapa orang saja...”.[6] 

Dari pernyataan Ibnu al Qayyim di atas saya mencatat minimal ada dua hal penting yang menarik. Pertama adalah bahwa pernyataan tersebut memperlihatkan kecenderungan umum yang muncul dari masyarakat patriarkhi. Dengan kata lain laki-laki, menurut pandangan itu, memiliki tingkat gairah seksual lebih tinggi dari gairah seksual perempuan. Ibnu al Qayyim menolak pandangan “inna syahwah al mar’ah tazid ‘ala syahwah al rajul (bahwa syahwat perempuan lebih dari syahwat laki-laki). Ini, katanya, karena sumber syahwat adalah situasi/kondisi panasnya tubuh dan dalam hal ini laki-laki memiliki sumber panas tubuh yang lebih.[7] Pendapat yang bias laki-laki ini sesungguhnya sulit dibuktikan, karena kecenderungan naluriah tersebut dimiliki oleh semua orang, laki-laki maupun perempuan. Persoalannya adalah terletak pada keberanian mengungkapkan atau mengekspresikannya. Di sini faktor konstruksi sosial kemudian menciptakan kondisi-kondisi di mana satu jenis tertentu lebih ekspresif dari yang lain. Dalam budaya patriarkhi sudah barang tentu laki-laki lebih ekspresif daripada perempuan. Kedua, interpretasi Ibnu al Qayyim mengandung bias lokaliltas, karena bilangan empat dikaitkan dengan musim dalam satu tahun. Ini tentu saja tidak bisa berlaku untuk semua daerah atau negara. Andaikata ayat ini diturunkan di daerah yang hanya memiliki dua musim, maka boleh jadi Ibnu Qayyim tidak akan memberikan interpretasi seperti itu dan logikanya poligami tentu hanya boleh dua orang saja. 

Keadilan sebagai Syarat

Terlepas dari tafsir-tafsir di atas tetap mengapresiasi poligami, tetapi satu hal yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam kasus ini adalah apreasiasi terhadap prinsip keadilan. Membaca persoalan ini dari prinsip keadilan,  tampak jelas menjadi sasaran al Qur-an. Kita dapat melihat hal ini ketika kita membaca lanjutan ayat ini yang tetap menuntut kepada mereka yang ingin melakukan poligami untuk menegakkan keadilan.”Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil (manakala akan mengawini perempuan sesudah ada isteri), maka hendaklah satu orang isteri saja atau (jika masih ingin juga) budak-budak yang kamu miliki. Hal ini agar kamu lebih dekat tidak berbuat menyimpang”.

Ya, ayat ini kembali menyebut kata-kata keadilan (jika keadilan sama-sama menjadi terjemahan dari dua kata yang berbeda : al qisth dan al ‘adl). Saya merasa pengulangan ini mengindikasikan bahwa Tuhan tengah memberikan peringatan kepada mereka yang ingin berpoligami agar memikirkan dan merenungkan keinginan tersebut dengan serius dan sungguh-sungguh, agar tidak akan terjerumus pada tindakan-tindakan yang tidak adil. Adalah menarik bahwa dalam ayat ini Tuhan menggunakan bentuk kata “fi’il madhi” (past tens) pada “fa in khiftum”. Ini barangkali dapat difahami bahwa kekhawatiran tidak bisa berbuat adil seakan-akan sudah terjadi, meskipun belum dilakukan. Dengan kata lain, Tuhan seolah-olah ingin mengatakan : “kamu sebetulnya tidak akan bisa berbuat adil apabila mengawini isteri lebih dari satu”. Jadi ayat ini sebetulnya telah mengisyaratkan bahwa menegakkan keadilan terhadap para isteri sesungguhnya sulit diwujudkan. Di sinilah maka Tuhan menekankan agar orang seharusnya hanya berhubungan dengan satu orang isteri saja. Pada ayat lain sebenarnya sudah dinyatakan bahwa kemungkinan bisa berbuat adil terhadap para isteri sangatlah jauh. “kamu tidak akan bisa bertindak adil di antara perempuan-perempuan (yang akan kamu nikahi), meskipun kamu sangat menginginkannya”.(Q.S. al Nisa 129). Inilah sebabnya kita dapat mengerti bahwa Nabi Muhammad saw sendiri pernah memohon kepada Tuhan untuk memaafkan dirinya; “Wahai Allah, ini (berbuat adil) adalah sesuatu yang sudah aku usahakan semaksimal aku mampu. Maka janganlah Engkau siksa aku atas hal yang Engkau miliki tetapi tidak aku miliki”. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa  perkawinan monogami merupakan puncak atau ujung dari kehendak (keinginan) Tuhan yang seharusnya diperjuangkan terus menerus. Alasannya jelas bahwa hal itu “supaya kamu lebih dekat tidak akan bertindak menyimpang”.[8]

Bagaimana dengan penggalan ayat ini

Satu hal lain yang sangat mengganggu pikiran saya dari ayat poligami di atas adalah, kalimat “atau budak yang kamu miliki”. Ini merupakan bagian tak terpisah dari ayat tersebut (fa in khiftum an la ta’dilu fa wahidatan aw ma malakat aymanukum). Dengan tidak harus berfikir mendalam, orang yang membaca ayat ini segera dapat menyimpulkan bahwa ayat ini membolehkan perbudakan. Terhadap hal ini sebagian orang mencoba menjawab persoalan ini dengan mengatakan bahwa oleh karena perbudakan dalam realitasnya sudah tidak ada, maka ayat tersebut dengan sendirinya tidak punya tempat, tidak bisa diberlakukan. Keberadaannya dianggap sebagai sejarah belaka. Dengan begitu apakah ia termasuk ayat yang mansukhah, dihapus ?. Sampai hari ini tidak ditemukan informasi dari sumber-sumber Islam klasik yang menyatakan secara tegas bahwa ayat-ayat perbudakan sudah “mansukhah”, dihapus.[9] Teks-teks fiqh klasik juga masih mengajarkan persoalan ini sampai hari ini seakan-akan sebagai sesuatu yang tetap berlaku. Melihat tidak jelasnya persoalan tersebut tidaklah mengherankan jika ada sebagian pihak yang mencurigai bahwa Islam masih membolehkan perbudakan.

Pertanyaan epistimologis yang perlu disampaikan terhadap jawaban di atas adalah apakah sesuatu yang sudah tidak ada, tidak eksis dalam realitas berarti juga tidak diakui secara hukum syari’ah ?. Sebaliknya, apakah hanya oleh karena al Qur-an menyebutkannya, lalu hukumnya juga masih berlaku secara normatif?. Pertanyaan ini penting dikemukakan, karena seringkali orang dengan mudah dan tidak berfikir panjang berpendapat bahwa poligami dibolehkan karena al Qur-an menyebutkannya dengan jelas. Al Qur-an dalam banyak ayat memang  menganjurkan dan menekankan masyarakat untuk membebaskan budak. Bahkan sejumlah pelanggaran hukum harus dihukum dengan memerdekakan budak, karena sistem ini sangat bertentangan dengan martabat manusia. Cita-cita Nabi saw, dengan cara-cara demikian tentu saja adalah hapusnya sistem perbudakan. Persoalan kita adalah jika perbudakan bisa dihapuskan melalui sejumlah cara sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat al Qur-an, maka mungkinkah berbagai cara tersebut juga dapat digunakan untuk soal poligami, sehingga poligami pada akhirnya bisa dihapuskan?.

Alasan menghindari Zina

Di luar itu, dalam setiap perbincangan tentang poligami, pandangan yang pro poligami selalu menyebutkan bahwa poligami dibolehkan dalam rangka menghindari perzinahan. “Daripada zina, tentu lebih baik poligami, karena zina diharamkan agama, sedangkan poligami diizinkan”. Bahkan sebagian orang  dengan tanpa pengetahuan yang memadai, menyebut poligami sebagai sunnah, tindakan yang dianjurkan agama. Argumen tersebut dengan kata lain ingin menegaskan bahwa poligami dimaksudkan sebagai wahana menyalurkan hasrat seksual laki-laki yang tidak bisa dicukupi oleh satu orang isteri. Jika ini alasannya, maka apakah alasan ini dapat dihubungkan dengan poligami Nabi, seperti yang juga menjadi dasar legitimasi mereka?. Dengan kata lain : apakah Nabi berpoligami didasarkan atas tuntutan hasrat libido seksual?. Saya sangat meyakini bahwa poligami Nabi tidak didorong oleh kebutuhan libidonya. Andaikata Nabi memiliki hasrat seksual yang tinggi, niscaya beliau akan melakukannya sejak kawin dengan siti Khadijah. Perkawinan Nabi dengan isteri pertama yang janda ini berlangsung cukup lama selama 28 tahun dengan tingkat kesetiaan yang tinggi. Ketika itu pula beliau masih muda dan perkasa. Pada sisi lain fakta-fakta sejarah perkawinan Nabi dengan sejumlah perempuan menunjukkan bahwa para isteri Nabi tersebut adalah perempuan-perempuan yang sudah berusia lanjut sebagian besar adalah janda dan sebagian juga bukan perempuan yang berparas cantik. Poligami Nabi dengan begitu jelas bukan karena didasarkan pada kepentingan biologis, melainkan perlindungan terhadap orang-orang yang dilemahkan.

Fakta-fakta di sekitar Poligami

Uraian di atas berikut problem-problem yang menyertainya adalah merupakan analisis wacana keagamaan yang selalu melahirkan kemungkinan-kemungkinan (spekulatif). Perdebatan-perdebatan mengenainya  boleh jadi tak akan pernah selesai. Masing-masing orang berhak menyatakan kebenaran atas pendapatnya. Di luar itu saya kira kita perlu melihat dan mengungkapkan fakta-fakta sosial tentang isu poligami ini. Fakta adalah kenyataan yang tidak dapat ditolak. Fakta-fakta sosial di seputar poligami yang dihimpun dari penelitian dan pengalaman advokasi menunjukkan dengan jelas bahwa poligami menyimpan banyak masalah ketidakadilan dan penderitaan banyak pihak. Menurut laporan LBH – APIK 58 kasus poligami yang didampinginya dari tahun 2001-2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran isteri dan anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual isteri. Sementara 35 kasus poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas.[10]

Dampak-dampak buruk yang dilahirkan dari perkawinan poligami yang dilaporkan LBH-APIK di atas dan masih banyak lagi laporan penelitian lain, menunjukkan bahwa poligami yang dipraktikkan sebagian orang dewasa ini agaknya sudah menjadi problem kemanusiaan yang semakin meluas dan perlu mendapat perhatian banyak pihak. Mengacu pada proses perbaikan gradual seperti yang dicontohkan al Qur-an terhadap banyak kasus, termasuk kasus perbudakan, maka proses menuju perkawinan monogami sudah saatnya juga dilakukan. Beberapa langkah yang mungkin bisa ditempuh dalam hal ini adalah melalui keputusan politik negara. Kita barangkali dapat menganalogikan isu ini dengan isu perbudakan. Meski al Qur-an masih menyebutkannya tetapi keputusan politik seluruh negara modern, termasuk negara-negara Islam telah melarang perbudakan. Ini adalah komitmen dari deklarasi universal hak-hal asasi manusia.

Jika praktik poligami yang dilakukan banyak orang sekarang ini telah menimbulkan dampak-dampak yang buruk dan kerusakan baik secara personal maupun sosial, maka agaknya pemerintah sudah saatnya melangkah secara lebih progresif untuk mengatasi persoalan ini. Terdapat sejumlah kaedah fiqh yang menyebutkan bahwa mencegah kerusakan sosial harus lebih diprioritaskan daripada mengambil kemaslahatan. Antara lain : “al Dharar yuzal” (kerusakan harus dihilangkan), “Dar ul mafaasid muqaddam ‘ala jalb al mashalih” (mengantisipasi/menolak terjadinya kerusakan harus lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan), dan lain-lain. Al Suyuthi mengatakan : “Idza ta’aradha mafsadah wa mashlahah quddima daf’u al mafsadah” (Jika berhadap-hadapan antara yang membahayakan (menimbulkan kerusakan) dan yang membawa kemaslahatan, maka menolak hal yang membahayakan harus diutamakan daripada hal yang membawa kemaslahatan), karena perhatian Tuhan/Nabi terhadap hal-hal yang dilarang lebih kuat daripada perhatiannya terhadap yang diperintahkan”.[11]  Pada sisi lain pemerintah menurut sistem Islam berkewajiban untuk bertindak bagi kepentingan kebaikan masyarakatnya. Kaedah fiqh menyebutkan : “Tasharruf al Imam ‘ala al rai’yyah manuthun bi al mashlahah” (tindakan pemerintah terhadap rakyatnya adalah diletakkan dalam kerangka kemaslahatan masyarakat (kebaikan dan kesejahteraan sosial).[12] Dalam teks Imam al Syafi’i kaedah ini berbunyi : “manzilah al Imam min al ra’iyyah manzilah al wali min al yatim”(kedudukan pemerintah terhadap rakyatnya adalah sama dengan kedudukan wali (pengasuh) terhadap anak yatim.[13] Tokoh Islam modernis terkemuka Muhammad Abduh mengapresiasi pandangan ini dengan penuh semangat. Ia mengatakan : “...maka boleh bagi hakim (pengadilan) untuk menolak poligami, atau boleh bagi orang alim untuk menolak poligami secara mutlak karena mempertimbangkan mayoritas”.[14]  Jika demikian halnya, maka adalah kewajiban pemerintah bersama-sama para anggota parlemen untuk mengambil langkah-langkah legislasi untuk merevisi undang-undangan perkawinannya sedemikian rupa sehingga perkawinan poligami dibatasi secara ketat untuk pada akhirnya monogami menjadi satu-satunya pilihan bagi masyarakat. Langkah-langkah legislasi seperti ini sesungguhnya telah banyak dilakukan oleh sejumlah negara Islam. Sejumlah negara Islam modern memang telah melarang atau memperketat perkawinan poligami.[15]

Pandangan-pandangan di atas sama sekali tidak bisa diartikan, difahami, dicurigai atau bahkan diyakini sebagai penentangan terhadap al Qur-an atau praktek poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Karena seperti sudah dikemukakan, masing-masing berada dan berangkat dari konteks yang berbeda. Ada pepatah Arab mengatakan : “li kulli maqal maqam” (setiap pernyataan ada tempatnya sendiri)  dan “li kulli maqam maqal” (setiap tempat ada pernyataannya sendiri). Dalam bahasa yang lebih populer masalah poligami harus diletakkan dalam konteks historisnya masing-masing. Tetapi satu hal yang pasti dan disepakati seluruh kaum muslimin adalah bahwa keadilan harus ditegakkan kapan dan di manapun. Keadilan harus menjadi dasar kehidupan bersama. Keadilan adalah nilai-nilai moral universal yang selalu ditekankan al Qur-an. Oleh karena itu seharusnya nilai-nilai ini menjadi pengendali dan penentu dari aturan-aturan yang berlaku khusus dan bukan sebaliknya. Aturan-aturan khusus bagaimanapun lahir dari kondisi dan situasi yang khusus.

Buku Syari’ah Keadilan

Buku “Syari’ah Keadilan”, karya Faqihuddin Abdul Kodir ini sungguh merupakan karya yang sangat kreatif. Saya melihat tidak banyak orang yang dapat melakukan penjelajahan dan penjelasan sedemikan mendalam tentang topik yang sama (poligami) seperti yang dikerjakan Faqih dalam buku ini. Ia telah berusaha menjelaskan masalah poligami secara lebih luas, mendalam,  kritis dan dapat dianggap tuntas. Dalam banyak hal ia telah mengemukakan pandangan-pandangannya yang sangat berani tetapi tetap dengan mengungkpkan argumentasi ilmiyah yang kuat. Faqih memperlihatkan dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan mengeksplorasi khazanah intelektual klasik dengan cara yang mengagumkan. Faqih adalah intelektual muda yang sangat berbakat. Satu hal yang perlu dicatat adalah  dengan semangatnya yang kuat untuk membela kaum perempuan akibat ketidakadilan yang menimpa mereka, seperti nampak dalam kajian ini, memungkinkan dia menjadi bagian dari feminis laki-laki. Akhirnya saya sepakat dengan Faqih bahwa memang selayaknya atau seharusnya kita tidak melakukan poligami.(HM).




[1] Terjemahan ini mengikuti  Al Qur-an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, cetakan Kerajaan Saudi Arabia.
[2] Ibnu Katsir, Tafsir al Qur-an al ‘Azhim, I/449.
[3] Mengenai latar belakang turunnya ayat ini Bukhari meriwayatkan bahwa Urwah bin Zubair bertanya kepada Aisyah ra. Mengenai ayat ini :”jika kamu khawatir tidak dapat berlaku terhadap anak yatim”. Aisyah menjawab : “hai anak saudara perempuanku, perempuan yatim ini diasuh seseorang (wali) dia menggabungkan harta dia (yatim) kepada hartanya. Si wali menginginkan kecantikan dirinya dan hartanya. Karena itu dia ingin mengawininya tanpa memberikan mas kawin yang layak. Maka dia dilarang mengawininya kecuali bisa bertindak adil dan memberikan mas kawin yang pantas. (Ketika ini tidak dapat dilakukannya) dia dianujrkan menikahi perempuan-perempuan lainnya”. (Ibnu Katsir, ibid, 499-450).
[4] Muhammad Syahrur, al Kitab wa al Qur-an Qira-ah Mu’ashirah, al Ahali Damaskus, cet. IV/597, Nahwa Ushul Jadidah li al Fiqh al Islamy, Al Ahali, Damaskus, cet. I, 2000, hlm.303
[5] Ibid, 600.
[6] Ibnu al Qayyim, I’lam al Muwaqqi’in, Maktabah al Kulliyat al Azhariyyah, Kairo, cet. I, 1968, Juz II hlm. 104.
[7] Ibid, hlm. 105
[8] Mayoritas ulama tafsir memaknai “an la ta’ulu” sebagai “supaya kamu tidak menyimpang”(an la tamiilu wa la tajuuru). Tetapi Imam al Syafi’I memaknainya : “supaya kamu tidak banyak keluarga” (an la taktsura ‘iyalukum). (Al Razi, Al Tafsir al Kabir, IX/177).
[9] Legalitas perbudakan dihapus berdasarkan dekrit Kerajaan Turki Usmani tahun 1887 yang menyatakan bahwa “Pemerintahan Kerajaan secara resmi tidak mengakui perbudakan dan memutuskan dengan dasar hukum bahwa setiap orang yang hidup di kerajaan adalah bebas”. Di banyak negara di Semenanjung Arabia praktik perbudakan baru dihapus pada pertengahan abad ke 20. Sejak saat itu perbudakan hampir punah di wilayah-wilayah Islam.
[10] Laporan tahunan
[11] Jalal al Suyuthi, Al Asybah wa al Nazha-ir, hlm. 62
[12] Ibid, hlm. 83
[13] Ibid, hlm. 83
[14] Baca : Nashr Hamid Abu Zaid, Dawair al Khawf, Qira-ah fi Khithab al Mar-ah”, hlm. 220. Abu Zaid mengutip pernyataan Abduh ini dari tulisannya di  “al A’mal al Kamilah, II hlm. 84-95.
[15] Lihat : Ensiklopedi Oxford ; Dunia Islam Modern,  John L.Esposito ed, Mizan, Cet. I, 2001, Jilid V, hlm. 21. Baca juga entri : Perempuan dalam Islam, Jilid IV.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar