SUGENG_RAWUH


Jumat, 20 Mei 2011

ke-malu-an


Ke-Malu-an
Written by: fattach yaseen


Dua kata di atas rasanya sudah asing melebihi kelangkaan minyak tanah dalam kemelut hidup kita saat ini. Sering kita melihat iklan-iklan dalam TV menampilkan seksualitas wanita guna dijadikan pemikat konsumen. Parahnya, seiring dengan kebangkitan dunia perfilman Indonesia setelah Boomingnya Ada Apa Dengan Cinta yang dibintangi Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo berhasil menyabet predikat box office, muncullah film-film ‘sampah’ layar lebar yang menghidangkan bejibun seksualitas makhluq yang menjadi parameter kebudayaan  bangsa ini. Yang lebih hancur lagi, seiring kemudahan berkomunikasi khususnya jaringan internet. Bisa dikatakan tiap bulan, bahkan tiap minggu diadakan film bokep yang tersebar di situs-situs pornoiyyah di seantero pelosok dunia internet. Pertanyaannya, mengapa si wanita mau saja berakting yang wuihhh ngêerrrr tersebut. Dalam ritme kehidupan ini selalu saja ada aktris dan aktor bokeb dadakan yang nongol memainkan adegan ber ahh uhhh ohh yess ria laiknya binatang disaksikan oleh setiap mata yang sudah terjangkit virus mbokep yang telah mencapai kronis. (penulis enggak lho!! Cuma tahu dari slenthingan-slenthingan, fath al-Jarê. Tenan!!! Sumprit!!!). Jawabannya, tidak lain tidak bukan ialah karena ke-malu-an mereka sudah tercerabut dari nurani insaniyyah. Seperti halnya orang gila dengan enjoy dan tidak merasa berdosa secuilpun lari ke sana kemari kothar-kathêr tanpa busana. Selain karena akal sehatnya tidak berfungsi, si orang gila dengan seenak udel melakukan apa yang menjadi kemauannya ialah karena rasa malunya sudah menyublim dari lubuk hatinya. Pantaslah beribu-ribu purnama sebelum para aktor dan aktris bokep karbitan serta bintang iklan dapat pipis dan cawik sendiri, Kanjeng Nabi sudah menyiratkan pesan moral akan rasa malu,
“Idza Lam Tastahyi Faf’al Mâ Syi`ta, ketika engkau tidak mempunyai rasa malu. Maka lakukanlah hal yang engkau kehendaki seenakmu”.
Sudah menjadi budaya miring yang parenial dikalangan pesantren ialah “Menggasab” baik itu sandal, pakaian, sajadah, dan bahkan cawêt, hweeek.. Dengan dalih “Saya menggasab karena saya juga digashab”. OK, sepintas argument tersebut dapat dibenarkan. Namun, jika diaplikasikan dalam kasuistik lain, maka dalih asal mangap tersebut akan lebih kentara. Coba bayangkan jika ada seseorang yang menggasab mobil karena mobilnya digashab? Bayangkan jika ada orang yang menggashab istri temannya atau tetangganya dengan dalih istrinya digashab orang lain? Gubrag!!! Sudah cetho wêlo-wêlo nduleg mata kan jika menggasab dengan alasan apapun memang tidak benar. Baik ditelisik secara aspek horizontal-antroposentris dikarenakan menggasak haq adamiy tanpa seizin yang punya. Maupun diteropong dari perspektif vertical-teologis dikarenakan melanggar salah satu larangan Allah. Mengapa budaya ghasab-mengghasab sulit dimusnahkan dari muka bumi pesantren? Jawabannya segendang sepenarian dengan mengapa aktris dan aktor bokeb dadakan mau memainkan adegan ber ahh uhhh ohh yess ria laiknya binatang disaksikan oleh setiap mata yang sudah terjangkit virus mbokep yang telah mencapai kronis. Tidak lain tidak bukan ialah karena ke-malu-an komunitas yang menghuni Almamater suci Pesantren sudah mengalami degradasi.
Beribu-ribu putaran bumi sebelum ibu Fatmawati Sukarno Putri menjahit bendera merah putih, sebelum Pak Karno membacakan naskah teks proklamasi, sebelum Wr.Supratman menciptakan lagu ndonesia raya. Dan sebelum Faceebook, Mig33, Nimbuz, Twitter menjangkit kawula muda secara sporadis. Terdapat satu kerajaan di tanah air yang sangat makmur, gemah ripah loh jinawi. Adalah kerajaan Kalinggga dengan di bawah kendali Ratu Sima. Diceritakan oleh prasasti tukmas yang menjadi saksi bisu abadi akan besarnya ke-malu-an rakyat. Arkian, Untuk menguji kejujuran dan rasa malu rakyatnya, Sang Ratu menaruh pundi-pundi emas di tiap-tiap sudut jalan. Detik berganti menit, menit berubah jadi jam, jam mengumpul menjadi hari, hari berlalu ke minggu hingga sampai sebulan tidak ada salah satu rakyat yang mengambilnya. Ajib! Tapi itu dulu, jaman mbiyen, durung usum sabun. Coba bayangkan kalo sekarang ada sosok pemimpin laiknya Ratu Sima hidup di tengah-tengah kita menaruh pundi-pundi emas disetiap pojok jalan. Niscaya, belum sempat beliau mengerdipkan mata setelah meletakkannya, emas di hadapannya sudah raib digondol tikus rambut krithing. Emas yang disimpan dalam toko, diamankan dalam brankas saja dirampok. Uang rakyat yang disimpan dalam brankas pemerintah saja dibobol tikus-tikus berdasi. Apalagi emas yang diletakkan kinyis-kinyis di sudut-sudut jalan.
Begitu vitalnya rasa malu dalam keimanan seseorang muslim, sampai-sampai Baginda Kanjeng Nabi Muhammad bersabda “al-Haya, Min Al-Îmân”. Pantaskah seseorang yang dalam KTP-nya tertulis agama: islam melakukan hal-hal yang dikehendakinya karena tidak mempunyai ke-malu-an disebut orang yang beriman sempurna? Pantaskah seorang santri yang notabenenya menjunjung Akhlaq Al-Karîmah yang syarat dengan besar ke-malu-an menggasak sandal, sajadah, sarung bahkan cawêt orang lain tanpa izin dari si empunya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar