SUGENG_RAWUH


Jumat, 20 Mei 2011

obyektifitas



Obyektifitas
Written by: fattach yaseen




Pitutur bener iku
Sayektinê, becik dên ditiru
Senajan metu
Soko wong sudro pêpêki

Mungkin gendang telinga yang telah sering disapa oleh lengkingan maut sang vokalis Gun’s And Roses, Axl Rose. Bruce springsteen sang vokalis Iron Maiden, dan suara emas Celine Dion yang mampu mencapai tujuh oktaf. Atau malah sering dibuai oleh suara desahan Julia Peres dengan tembang belah durian yang mfuih!!! Merangsang buanget. Atau bagi pendengaran yang sering dirobek-robek oleh lengkingan melodi Sang dewa gitar, Edy Van Hallen, Steven Vai, Yngwie Malmsteem, Joe Satriani. Atau malah sering dimanjakan dengan gendang koplo maut sang Bruddin Palapa akan merasa asing dengan sederet kalimat jawa di atas. Kalau di dalam sastra arab kita mengenal istilah wazan, zihaf, syatar dan kroni-kroninya untuk menyusun sebuah syair dan qâsidah dalam ilmu ‘arudh. Nah, dalam sastra jawa terdapat istilah guru lagu dan guru gatra untuk membidani sebuah macapat, seperti untaian kata-kata kejawen di atas. Mungkin keindahan bahasa macapat tidak ada sekuku irêng dari tujuh mu’allaq buah karya Amru Qais , Zuhair, Tharafah, Nabighah, Antarah, Amru bin Kultsum dan Harits bin Hilizah yang digantungkan di dinding Ka’bah pada masa dark age, jahiliyyah. Yang menjadi magnum ovus yang tak lekang oleh gerusan zaman. Namun jika kita mau membongkar makna yang tertimbun dibawah reruntuhan untaian macapat yang membikin rambut keriting bagi orang-orang yang sok british. Maka, akan kita temukan segudang filosofi kehidupan yang tak kalah digdaya dengan filsafat-filsafat yunani kuno hasil elaborasi Plato, Socrates, Descrates dan kawan-kawan.
Pesan moral yang ingin disampaikan mbah-mbah kita lewat macapat diatas ialah. Menekankan obyektifitas dan membuang jauh-jauh ke laut subyektifitas didalam setiap dimensi kehidupan. Acapkali kita menutup mata dan menyumpeli telinga jika ada orang yang status sosial, kredibelitas intelektual ataupun kekayaannya dibawah kita menyampaikan suatu kalam hikmah, saran, ataupun kritik. Seorang tamatan sering mengatakan “Ngerti opo cah tsanawiy anyaran”. Seorang pemimpin yang otoriter sering mengatakan ”Tahu apa kamu tentang urusan atasan”. Orang yang kaya sering menyemburkan ”Wong kêrê rasah omong”. Nah, jika dalam dimensi kehidupan tetap mengenakan kaca mata subyektifitas yang hitam pekat dalam mata batin untuk menyikapi jika ada orang lain yang notabene dibawah kita menyampaikan saran ataupun kalam hikmah. Niscaya, benteng arogansi dan kecongkakan akan bertambah kuat bercokol dalam diri kita. Semestinya kita bisa memetik hikmah mengapa iblis mendapatkan hibah “laknat” setelah dia memberang tidak mau sujud kepada Mbah Nabi Adam. Karena kesombongan yang bercokol dalam dirinya akibat subyektifitas yang menjadi madzhab pemikirannya. Ia berdalih jika dirinya yang tercipta dari api lebih mulia daripada Nabi Adam yang diciptakan dari tanah liat. Seharusnya kita harus mau menerima saran, kritik ataupun kalam hikmah dari orang yang kita anggap inferior tanpa memandang siapa yang mengatakan. Namun, menitik beratkan kepada apa yang dikatakan. Semestinya kita mau mengambil pesan moral yang ingin disampaikan oleh Kanjeng Nabi ketika akan perang Khandaq. Dengan penuh antusias Beliau mau menerima pendapat dan saran Salman AL-Farisiy agar menggunakan strategi pertahanan menggunakan parit untuk menahan serangan musuh-musuh islam yang ingin menggempur kota Yastrib. Padahal kita tahu, semua orang muslim pasti juga tahu dan setuju jika baginda Nabi Muhammad memang sosok manusia ma’sum dan sempurna. Basyarullah lâ kalbasyariy. Namun, Baginda agung Muhammad tidak disilaukan dengan atribut-atribut duniawi yang disematkan kepada beliau saat itu. Sebagai seorang pemimpin, beliau mau membuka keran-keran saran dan usul bagi bawahannya. Bukannya malah menutup mata dan menyumpeli telinga dengan subyektifitas. Beliau sangat menekankan obyektifitas kepada pemeluk agama rahmatan lî al-‘Alamîn melewati pesan Universal jauh-jauh hari sebelum wong jowo telah memformulasikan karya sastra macapat, Undzur mâ qâla walâ tandzur man qâla (Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan).
Nah, sekarang jika ada orang yang notabene jauh di bawah anda menyampaikan kritik dan saran apakah anda masih tetap memakai kacamata subyektifitas untuk memandangnya? Penulis yaqin jika anda akan membuang jauh-jauh kacamata subyektifitas dan menggantinya dengan teropong obyektifitas. So, penulis yang sudro pêpêki van kaum proletar ingin menyampaikan pesan moral “Jangan anggap enthêng goresan-goresan hasil analisa dangkal menggunakan pisau bedah otak kumprung penulis di atas”
Once againt, “Undzur Mâ Qâla Walâ Tandzur Man Qâla”.
Wallahu A’lâm bî ash-Shawâb!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar