SUGENG_RAWUH


Jumat, 20 Mei 2011

Dikotomisasi dan Eksclusivisme yang tak terasa


Dikotomisasi dan Eksclusivisme yang tak terasa
Written by: fattach yaseen

Adalah pesantren, lembaga pendidikan islam yang tidak hanya mengusung semangat Tafaqquh ad-Dîn. Namun juga tetap melanggengkan keorisinilan pribumi, indigenious. Dikarenakan jauh-jauh hari sebelum para pedagang Gujarat datang ke tanah air untuk menyebarkan agama Rahmatan lî al-‘Alamîn dan sebelum lembaga ini memproklamirkan atas entitasnya ke permukaan masyarakat, agama hindu telah menerapkan sistem pendidikan berbasis asrama (mandala) untuk mengajarkan agama mereka kepada para pemeluknya. Seperti yang kita lihat corak tempat tinggal para santri yang menimba ilmu agama diseluruh pesantren yang tersebar di seantero tanah air tercinta ini. Mulai menit pertama berdiri, Lembaga naungan Sang Kiai ini mampu menjelma sebagai lembaga swadaya sekaligus lembaga pemberdayaan masyarakat, (Pubic Development) yang sangat unik dibanding dengan LSM-LSM yang bermuculan belakangan ini. Pesantren justeru merupakan lembaga swadaya paling mandiri dan paling bertahan. Telah beratus tahun ia lahir, tetapi masih eksis sampai hari ini. Mampu survive serta mampu terlepas dari jeratan-jeratan-jeratan dependensi serta bayang-bayang hegemoni pihak lain dalam atmosfer kehidupan yang begitu kompetitif. Tidak seorangpun selama ini mampu memberikan devinisi yang devinitif mengenai pesantren. Ia dikesankan dengan wajah yang berbeda-beda. Ia sering dicap sebagai lembaga pendidikan tradisional di tengah-tengah pergumulan post-modernisme. Namun, kenyataannya banyak sekali hasil karya yang ditelorkan dari lembaga ini. Yang mana karya-karya tersebut sesuai kontekstualisasi zaman dengan tanpa melenceng sedikitpun dari metodologi-metodologi warisan Salaf ash-Shâlihîn. Dan banyak juga output-poutput lembaga ini yang  menyemarakkan dunia sains dan menjadi figur nasional dan internasional. Ia sering dituding sebagai lembaga keagamaan Skirptural-Konservatisme dan statis di tengah-tengah euforia Rasional-Liberalisme yang syarat akan kedinamisan. Kenyataannya, hingga detik ini lembaga berkomunitaskan kaum sarungan tersebut tetap eksis dalam dinamika modernitas serta mampu membuktikan kepada public akan relevansi dan entitas lembaga pendidikan yang telah beratus-ratus tahun tegak berdiri.
Tidak disangsikan lagi, begitu besar sumbangsih serta intervensi lembaga pendidikan berkomunitaskan kaum sarungan ini bagi keberlangsungan dan eksisitensi pendidikan agama islam khususnya dan pendidikan nasional umumnya. Tanpa pesantren, niscaya keorisinilan hukum-hukum fiqh hasil elabolarasi ulama’ yang diformulasi dan terkodifikasikan dalam kitab kuning tidak pernah kita temui saat ini. Tanpa kitab kuning, pesantren tidak akan berarti sebagai lembaga pendidikan dengan visi utama Tafaqquh Fî ad-Dîn. Kait-kelindan antara kitab kuning dengan pesantren merupakan relasi yang inheren. Kitab kuning kiranya mempunyai peran strategis dalam transformasi keilmuan pesantren. Bahkan ia merupakan referensi tunggal paling dini dalam tradisi intelektual islam nusantara, dikarenakan dokumentasi keilmuan islam yang  mayoritas berbahasa arab. Mengenai peran strategis kitab kuning diungkapkan Husein Muhammad;
“Dalam kurun waktu yang panjang, pesantren mengkonsumsi kitab kuning sebagai pedoman berpikir dan bertingkah laku. Ia merupakan bagian yang inheren (berkaitan erat) dalam dunia pesantren. Menurut masyarakat pesantren, kitab kuning merupakan formulasii final dari ajaran-ajaran al-Qur`an dan al-Hadist. Ia ditulis oleh ulama dengan kualifikasi ganda: keilmuan yang tinggi dan moralitas yang luhur. Ia juga ditulis menggunakan mata pena atau jari-jari yang bercahaya. Oleh karena itu, ia dipandang tidak memiliki cacat dan sulit untuk mengkritiknya”. (Husein Muhammad, dalam Marzuqi Wahid, dkk.(ed)1999:270)[1]
 Azumardi Azra juga menulis;
“Hampir tidak diragukan lagi, kitab kuning mempunyai peran besar. Tidak hanya dalam transmisi keilmuan islam. Bukan cuma santri, tetapi juga di tengah masyarakat muslim secara keseluruhan. Lebih lanjut lagi, kitab kuning khususnya yang ditulis oleh para ulama di kawasan ini merupakan refleksi perkembangan intelelktualisme dan tradisi keilmuan islam Indonesia. Bahkan, dalam batas tertentu, kitab kuning kitab kuning juga merefleksikan perkembangan sosial islam di kawasan ini.” (Azzumadi Azra. 2000;116) [2]
Wajar saja jika kitab kuning dijadikan referensi utama di pesantren dan bahkan satu-satunya. Karena keadaan bacaaan dan keilmuan islam pada masa awal cukup representatif  bagi problematika santri dan masyarakat. Kitab kuning dalam tradisi intelektual islam nusantara cukup memiliki kriteria kebenaran dalam menjawab problematika yang dihadapi masyarakat.
Seiring improvisasi sumber daya manusia dan upaya-upaya adaptasi dan adopsi system pendidikan formal, lembaga pendidikan pesantren terbagi menjadi dua kubu. Salaf (tradisional) dan khalaf (modern,terpadu). Yang tentunya dari masing masing tetap mengusung semangat al-Muhafadhah ‘alâ al-Qâdîm ash-Shalîh wa al-Akhdz bî al-Jadîd al-Ashlâh yang menjadi ruh pesantren. Naasnya, kubu khalaf lebih menitikberatkan aplikasi al-Akhdz bî al-Jadîd al-Ashlâh, memendang sebelah mata al-Muhafadhah ‘alâ al-Qâdîm al-Shâlih, yang akhirnya nuansa pesantren dalam fakta lapangan sedidkit tereduksi.
Celakanya, kubu salaf menganak tirikan aplikasi al-Akhdz bî al-Jadîd al-Ashlâh dan menganak emaskan pengejawantahan al-Muhafadhah ‘alâ al-Qâdîm al-Shâlih. Seakan-akan terjebak dalam perangkap madzhab eksclusivisme, menutup diri dari perubahan-perubahan yang merupakan keniscayaan. Khususnya, euforia intelektualitas keislaman yang sedang mencapai titik kulminasi, tepatnya dasawarsa terakhir. Sehingga, tanpa terasa lembaga tersebut (baca;Salaf) semakin tidak bisa terlepas dari jeratan dikotomisasi dalam sistem pendidikan yang mereka terapkan. Lembaga ini kurang peka terhadap urgensi akan penguasaan pengetahuan umum serta teknologi. Kesimpulan tersebut diambil dari approach dengan beberapa indikator. Pertama, pengadaan literatur-literatur dalam perpustakaan dan materi-materi pelajaran yang monoton hanya berupa kitab-kitab kuning. Metodologi pengajaran yang syarat dengan oral-aural (lisan-dengar), belum membuka keran-keran tulis menulis dalam metode pengajarannya. Kedua, segregasi lembaga ini dari akses-akses perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi. Giliran sekarang di mana perang intelektualitas sedang massif dalam beberapa media, baik cetak maupun elektronik. Pihak pesantren salaf kurang mampu mengikuti akan kompetisi tersebut. Sehingga, pemahaman agama yang tidak benar (rasional-liberalisme) menjadi sporadis, bahkan dapat dikatakan mereka yang memproklamirkan diri sebagai intelektual muslim (pelajar dan jebolan bangku kuliah) telah terjangkit rasional-liberalisme akut, bahkan hampir menjadi  kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena kurangnya resisitensi dan counter attack dari pihak kaum sarungan (baca;santri salaf) yang notabenenya ialah komunitas intelektual muslim yang memegang teguh ajaran agama yang murni. Karena bersumber dari turats yang validitasnya tidak disangsikan lagi.
Jika dari pihak pesantren salaf memandang sebelah mata fenomena tersebut serta hanya berpangku tangan dan tidak mau menjadi balance di tengah-tengah semaraknya perang intelektualitas islam di berbagai media. Besar kemungkinan masyarakat islam umumnya dan kaum yang memproklamirkan diri sebagai cendekiawan muslim jebolan pendidikan formal akan terjangkit rasionalis-liberalisme akut. Langkah preventif yang harus ditempuh pihak pesantren salaf untuk menanggulangi iklim neo-helenisme ialah. Pertama, bersikap inklusif dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Mampu mengkonvergensikan kitab kuning dengan ilmu pengetahuan umum yang dapat meningkatkan kredibelitas intelektual anak didiknya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan kemajuan Iptek. Sudah barang pasti harus berpegang teguh terhadap soko guru al-Muhafadhah ‘alâ al-Qâdîm ash-Shalîh wa al-Akhdz bî al-Jadîd al-Ashlâh. Sehingga, mereka mampu menuangkan pehaman agama yang benar ke khalayak umum serta mampu mentransformasi retorika menjadi argumentatif lewat media tulis, cetak, ataupun layanan internet. Titik kulminasinya, santri salaf bisa menjadi balance dan mampu meredam terhadap pemahaman-pemahaman yang membahayakan bagi keorisinilan ajaran agama. Kedua, pesantren harus mampu membuka keran-keran isolasi dari perkembangan teknologi. Khususnya, teknologi komunikasi (internet) dengan membuka rental-rental internet di lingkungan asrama santri. Tentunya dengan dibarengi pengawasan yang sangat ketat. Dengan antisipasi  demikian, para pengguna jasa rental tersebut tidak akan menyalah gunakan fasilitas yang berdampak melakukan tindakan-tindakan profan. Dengan upaya-upaya di atas, selain pihak pesantren salaf dapat memproklamirkan atas entitas dan relevansi mereka yang mulai disangsikan oleh public ke  permukaan umum. Lembaga yang telah beratus-ratus tahun ini juga mampu mencetak output-output yang berkredibelitas intelektual tinggi serta mampu menguasai tiga ranah sekaligus, kognitif, afektif, serta psikomotorik. Titik kulminasinya, mereka mampu mengemban heavy duty (baca;amanah) di muka bumi sesuai tugas pokok manusia, Khâlîfah fî al-Ardh, dengan  kompleksitas keilmuan yang mereka dapatkan.




[1] Tholhah,Imam dan Barizi,Ahmad, Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, hal 76.
[2] Ibid hal 77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar