SUGENG_RAWUH


Jumat, 20 Mei 2011

jihad dan terorisme


PENDAHULUAN

Paradigma terorisme global kini dituduhkan pada agama islam. Berbagai perang opini dan pemikiran terjadi untuk membuktikan bahwasannya islam yang mengafirmasi jihad sedang dituduh sebagai agama teroris. Hal ini bermula dari tragedi pengeboman gedung World Trade Center (WTC) pada 11 september 2001.
Paling tidak, sejak saat itulah jihad tiba-tiba mencuat menjadi kosa kata paling populer di dunia abad ini. Pemerintah Amerika segera menerjemahkannya sebagai tindakan “terorisme”. Dengan langkah cepat mereka melakukan serangkaian pembalasan dengan melancarkan serangan dan pembunuhan atau ancaman pembunuhan (teror) ke wilayah-wilayah yang dengan pandangan subyektifnya dianggap sebagai sarang teroris, antara lain Afghanistan dan beberapa negara di Timur Tengah. Mereka sangat yakin bahwa langkah tersebut dilakukan dalam rangka membebaskan masyarakat dunia dari kaum ‘teroris’. “Ini perang melawan Terorisme”, kata George W. Bush, Presiden Amerika itu. Tetapi mereka yang disebut teroris itu, justru membalik pernyataan itu. Maka kosakata terorisme berhamburan bagai meteor dan tak jelas ke mana arahnya, begitu sporadis.
Di Indonesia, term jihad dan terorisme semenjak bom bali I, 12 Oktober 2002 menjadi semakin semarak. Banyak pihak yang menuding agama islamlah yang harus bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan tersebut. Aliran islam fundamentalis di Indonesia yang terwadah dalam Jamiyyah Islamiyyah dituduh sebagai sarang teroris. Dengan pemahaman yang serampangan atas ayat-ayat jihad, mereka merumuskan jika jihad fî sabilillah dan amar ma’rûf nahi munkar harus dilaksanakan dengan cara apapun termasuk cara-cara vandalistic. Tak heran jika mereka berani mengorbankan diri untuk melakukan pengeboman di berbagai penjuru tanah air dengan iming-iming syuhada’ berdasarkan hasil interpretasi mereka tentang ayat-ayat yang mengafirmasi jihad.
Lebih jauh lagi, ketika istilah jihad muncul, citra yang tergambar dikalangan orientalis adalah bahwa pasukan muslim menyerbu ke kawasan timur tengah dan tempat-tempat lain untuk memaksa mereka (kafir) memeluk agam islam. Begitu melekatnya citra ini sehinga banyak dari argumen dari ilmuan-ilmuan muslim tentang konsepsi jihad hanya dipandang sebelah mata.[1]
 Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang terorisme dan jihad dengan harapan pemahaman sekelompok agama islam fundamentalis dan bangsa barat mampu menemukan titik terang. Sehingga visi-misi agama islam rahmatan lî al-‘Alamîn dapat terwujud dan penuduhan kaum orientalis “agama islam ialah agama yang berdiri di atas pedang” tidak pernah dilontarkan kembali.







PEMBAHASAN

Jihad dan Terorisme
Seusai perang dingin antara blok barat dan blok timur, terorisme menjelma menjadi momok bagi negara-negara maju -terutama Amerika Serikat-, setelah sebelumnya kampanye anti terorisme oleh pemerintah diangap terlalu hirau dan usang. Realitas ini cukup beralasan mengingat pada era 1990-an belum ada tindak terorisme yang mengancam eksistensi suatu bangsa ataupun stabilitas internasional.
Pertentangan ideologi nampaknya masih terjadi pasca perang dingin. Bangsa barat yang dulunya ketakutan terhadap ideologi sosialis sekarang merasa gusar dengan ideologi islamisme (fundamentalisme islam) dikarenakan gerakan-gerakannya akan membahayakan hegemoni politik, ekonomi, social budaya serta tata-nilai barat yang telah disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Untuk meredam pergerakan ideologi islamisme, bangsa barat menuduh jika mereka merupakan biang kerok terorisme dan harus diperangi, yang ternyata sejatinya hal tersebut hanya kedok semata.
Keberadaan terorisme yang kini menjadi issu internasional memang sangat menghawatirkan bagi setiap negara. Tuduhan bangsa barat -terutama Amerika Serikat- terhadap terorisme yang dialamatkan kepada agama islam patut dipertanyakan. Apakah terorisme memang dilakukan oleh segelintir penganut agama islam atau tuduhan tersebut hanya merupakan sebuah maneuver politik global untuk membungkam kekuatan kelompok islam yang mengancam keberadaan kapitalisme global yang diberhalakan bangsa barat.
Paranoid bangsa barat tersebut muncul dari persepsi jika umat islam berhasil  memperjuangkan syari’at islam secara kaffah (menghilangkan sekat-sekat negara dan berdiri di bawah negara islam), maka mereka tidak dapat lagi memegang kendali atas negara-negara islam yang selama ini mereka eksploitasi. Penjajahan fisik yang selama ini mereka lancarkan terhadap negara-negara islam kecil seperti Irak, Afganistan, dan Lebanon niscaya akan mendapatkan counter-attack dari umat islam dunia yang terayomi dalam Khilafah Islamiyyah.[2]

1.     Jihad
Secara etimologi, jihad berasal dari kata “juhd” atau “jahd”. Arti letterlijknya adalah kesungguhan, kemampuan maksimal, kepayahan dan usaha yang sangat melelahkan. Dari kata ini juga terbentuk kosa-kata “Ijtihad”. Tetapi yang terakhir ini lebih mengarah pada upaya dan aktifitas intelektual yang serius dan melelahkan dan menguras energi otak. Dalam terminologi Islam, jihad diartikan sebagai perjuangan dengan mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan manusia untuk sebuah tujuan-tujuan kemanusiaan. Pada umumnya tujuan  jihad adalah kebenaran, kebaikan, kemuliaan dan kedamaian.
Jihad dalam rangka menegakkan agama Allah selalu dibarengi dengan kata fî sabilillah. Hal itu bertujuan untuk membedakan antara perjuangan fî sabilillah dan perjuangan karena maksud lain seperti fanatisme golongan, arogansi, kerakusan, dan ambisi-ambisi lainnya. Allah Swt berfirman dalam surat an-Nisâ ayat 76,
 “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, Karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.”[3]

Fase-fase jihad dalam ranah historis
Seperti halnya masalah lain, jihad diinstruksikan secara gradual. Dalam turats disebutkan jika konsep jihad merupakan salah satu wahana dakwah islam yang seringkali mewarnai turunnya ayat Al-Qur’an. Ia dipandang hirau akan pertimbangan psikis-antropologis dan sosio-kultural masyarakat saat itu yang sedang mengalami masa transisi dari polytheism eke monotheisme, sehingga perlu adanya afirmasi hukum secara gradatif.
1)      Fase deffensive
Informasi historis secara factual menunjukkan jika saat Nabi Muhammad saw mendakwahkan ajaran islam mendapatkan protes keras dan perlawanan dari para penguasa yang otoriter dan kaum feodal, pemilik budak dan pengusaha masyarakat jahiliyyah. Mereka khawatir jika nantinya struktur kemasyarakatan dan perekonomian mereka akan tergoyahkan dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang sangat egaliter dan menjunjung tingi persamaan derajat.
Pada saat itu jihad belum diperintahkan oleh Allah Swt, kaum muslimin waktu itu hanya diperintah untuk bersabar dan tabah menghadapi siksaan kaum kafir. Dikarenakan mereka berada di Tanah Haram dan kuantitas muslimin masih kalah jauh dengan kaum kafir.
2)      Fase izin berjihad
Penindasan dan intimidasi kaum kafir makkah terus dilancarkan, namun kaum muslimin tetap kukuh pada agama islam. Hal itu menyebabkan kafir makkah mendeportasi mereka dari tanah kelahiran, akhirnya Nabi Muhammad Saw mengambil solusi mengungsikan sahabat-sahabat pemeluk islam ke Abisinia dan Madinah.
Berbagai upaya dilakukan oleh kaum kafir Makkah untuk menghalangi hijrah kaum muslimin tersebut. Salah satunya dengan membujuk raja abisinia agar menolak kehadiran umat islam di sana, namun usah itupun kembali menuai kegagalan. Seiring dengan eksodus kaum muslimin ini turunlah surat Al-Hajj ayat 22,
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah".
Dalam fase ini, kaum muslimin sebatas ‘diizinkan’ berperang, belum diperintah untuk berperang melawan teror-teror kaum kafir.
3)      Fase wajib jihad
Pada fase ini, tepatnya saat kaum muslimin telah mempunyai cukup kekuatan untuk melawan penindasan kaum kafir, perintah untuk berjihadpun kemudian diturunkan. Sebagaimana pernyataan wahyu ilahi surat al-Baqarah ayat 216,
“Diwajibkan (kutiba) atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.”
Instruksi menggunakan kalimat imperative ‘kutiba’ pada ayat di atas menunjukkan kewajiban jihad. Dan kewajiban tersebut sifatnya kolektif (fardhu kifâyah).
4)      Fase terakhir serta munculnya madzhab defensive serta offensive
Tiga fase jihad telah terlewati, dalam fase terakhir ini, Allah Swt menjelaskan limit waktu pelaksanaan jihad. Dalam fase ini terdapat dalil tranferensial surat al-Baqarah ayat 193,
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”
Dalam mengomentari ayat ini, al-Qurthubiy mengatakan ada dua pendapat mainstream ulama’ dalam menginterpretasikan ayat di atas. Satu versi mengatakan bahwa jihad wajib dilancarkan kepada kaum kafir dimanapun berada tanpa menunggu agresi dari mereka. Kesimpulan tersebut ditelurkan dari pendapat versi pertama yang menyatakan jika ayat tersebut menganulir ayat-ayat tentang jihad pada fase-fase sebelumnya. Sehingga elaborasi mereka akan ayat di atas merumuskan madzhab jihad offensive. Pada perkembangan selanjutnya, madzhab ini menjadi funding father lahirnya islam fundamentalis-radikalis. Sedangkan versi kedua menegaskan jika ayat di atas tidak menganulir ayat-ayat jihad pada fase-fase sebelumnya. Mereka menambahkan jika instruksi jihad dalam ayat di atas hanya terbatas untuk memerangi kafir yang melakukan agresi dan penganiyayaan terhadap umat muslim. Versi kedua ini nampaknya merupakan hipotesis deduktif yang dipakai sebagian ulama untuk membangun madzhab jihad deffensive. Prinsip dari madzhab ini ialah jihad hanya merupakan upaya untuk mempertahankan kelangsungan agam islam dari segala bentuk tekanan dari kaum kafir.[4]


2.     Terorisme
Istilah terorisme mulai digunakan akhir abad ke-18, terutama kekerasan pemerintah untuk mewujudkan ketaatan rakyat. Konsep ini pendeknya menguntungkan bagi para pelaku terorisme Negara yang memegang kekuasaan yang berada dalam posisi mengontrol pikiran dan perasaan. Seiring berjalannya waktu, istilah terorisme beralih dari arti aslinya dan ditujukan untuk makna “terorisme pembalasan” oleh individu atau kelompok-kelompok.
Michael Kinsley (dalam Praja, 2001) mendefinisikan Terorisme sebagai berikut :
“Terorism has multiple faces and may be hiding under the name of a religion, philosophy, politics, or any other name. Terorism is a way of life. It may be a part of the history of human civilization and culture. Defining terorism is most important in order not to be changeable between “terorism” and “the warrior of freedom”
“Terorisme memiliki banyak wajah dan dapat bersembunyi di bawah nama agama, filsafat, politik, atau nama lain. Terorisme adalah cara hidup. Ini mungkin sebuah bagian dari sejarah peradaban manusia dan kebudayaan. Mendefinisikan terorisme yang paling penting agar tidak berubah-ubah antara "terorisme" dan "pejuang kebebasan.”
Pengertian tersebut menjelaskan bahwa terorisme terjadi dengan adanya kepentingan yang menyangkut agama, paham, politik dan sejenisnya. Tindakan terorisme dijadikan oleh pelaku sebagai pandangan hidup sehingga pelaku bisa melakukan pembenaran secara sepihak atas tindakan teror yang telah dilakukan. Terorisme berupaya untuk menumbangkan agama, paham, politik dan sejenisnya yang berlainan dengan pelaku teror. Tindakan terorisme acapkali mengaburkan khalayak perihal tujuan utama yang hendak dicapai dan seringkali hanya merupakan ancaman yang mampu memberikan ketakutan bagi khalayak. Hal ini berbeda dengan ‘perang pembebasan’ yang jelas menunjukkan antara pihak yang berperang dan memiliki tujuan untuk bebas dari belenggu penjajahan.[5]
Menurut Thornton, terorisme mempunyai 4 jenis, criminal, psikis, perang, dan politik. Terorisme criminal ialah penggunaan teror secara sistematis untuk mencapai tujuan-tujuan material; terorisme psikis ialah penggunaan teror untuk tujuan-tujuan agama; terorisme perang ialah penggunaan teror untuk melumpuhkan lawan dan memenangkan pertarungan. Sedangkan terorisme politik ialah penggunaan teror yang sistematis dan menuntut kebijaksanaan berkelanjutan, baik dilakukan oleh Negara, organisasi, atau kelompok-kelompok individual.[6]
Dari klasifikasi terorisme di atas dapat dimengerti bahwa ancaman yang bertujuan keagamaan, dan kekerasan perang yang bertujuan menghancurkan merupakan tindakan terorisme. Berangkat dari situ, pertanyaannya sekarang apakah jihad yang mendapat legalisasi dalam islam termasuk tindakan terorisme?
Perlu ditegaskan bahwa tidak ada bangsa, agama, dan generasi yang terbebas dari perang, tak terkecuali agama islam. Ibnu khaldun (1332-1406) pernah menyatakan statemen bahwa perang dan berbagai bentuk pertempuran selalu terjadi sejak Allah swt menciptakan dunia ini. Dalam berperang, keperluan untuk mempertahankan diri dengan melemahkan musuh merupakan strategi. Petarung-petarung dalam berperang hanya dapat melihat tiga kemungkinan:
1)      Mengalahkan musuh dengan strategi, termasuk didalamnya ialah menteror untuk menciutkan nyali musuh.
2)      Dikalahkan musuh.
3)      Melakukan perjanjian damai.
Jadi tidak ada satupun peperangan yang bersih dari strategi dan teror, tak terkecuali perang crussade (perang salib) dalam tradisi Kristen dan jihad dalam tradisi islam.
Sementara di sisi lain, kehancuran akibat perang merupakan keniscayaan, dikarenakan tidak ada perang yang terlepas dari dampak itu. Akan tetapi, jihad tidak pernah menjadikan kehancuran sebagai motif, melainkan ia dikorbankan demi tujuan berikut:
1)      Demi mempertahankan hak-hak umat islam dan perampasan atas kemerdekaannya.
2)      Memberantas fitnah dan menanggulangi perampasan hak-hak asasi manusia (HAM) yang menyumbat kebebasan individu umat islam.
3)      Mempertahankan diri dari agresi kaum kafir.
Beberapa tujuan di atas dilatari oleh terjadinya kasus-kasus yang disebabkan tidak adanya kemerdekaan individu umat islam, fitnah yang merajalela, berkembangnya kemusyrikan dan bebagai intimidasi yang ditujukan kepada kaum muslimin supaya mau meninggalkan agama islam. Apabila kasus-kasus tersebut dapat diselesaikan dengan amar ma’ruf nahi munkar, petunjuk nyata, diplomatis, maka tidak perlu ada peperangan.
Sementara, untuk meminimalisir kehancuran yang disebabkan peperangan, islam merumuskan aturan aturan sebagai kode etik yang dapat menjaga kesopanan dan menghormati derajat manusia, diantaranya:
1)      Tidak boleh merusak daerah musuh dengan membakar, kecuali langkah tersebut merupakan alternativ terakhir.
2)      Menjamin keselamatan pihak musuh yang datang secara resmi kepada pihak muslimin.
3)      Tidak boleh mengganggu bahkan membunuh wanita dan anak-anak.
4)      Tidak boleh memerangi musuh yang kepada mereka belum sampai dakwah islam, kecuali setelah diajak masuk islam dan penerangan, akan tetapi mereka melawan. Tinta emas sejarah islam mencatat jika Nabi Muhammad Saw pernah mengirimkan utusan-utusan kepada raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Diantaranya kepada Hiraclius penguasa Rumawi, Neghus raja Ethiopia Abrawis raja Kisra, Mundzir bin Sawa raja Bahrain.[7]  
Jelaslah sudah bahwa islam tidak pernah menjadikan penghancuran sebagai motif jihad, melainkan jihad lebih dikonsentrasikan pada tujuan perlindungan terhadap agama Allah Swt (hifdz ad-Dîn), menjamin kebebasan individu dari agresi penjajah, pemberantasan fitnah dan upaya mewujudkan stabilitas umum. Sedangkan penggunaan teror yang bertujuan melumpuhkan lawan merupakan strategi semata. Dan strategi semacam itu tidak pernah lepas dari semua peperangan sepanjang sejarah.




















PENUTUP
Ulasan tentang terorisme dan jihad di atas penyusun maksudkan untuk menampik asumsi barat yang mengkleim jika islam adalah teroris karena dalam ajarannya terdapat konsep jihad. Sejatinya, tidak hanya agama islam yang mempunyai konsep perang, agama Kristen juga mempunyai konsep perang yang dikenal dengan crussade (perang salib).
Menurut Azzumardi Azra, konsep crusade merupakan “perang kata-kata” sekaligus “perang dengan perang.” Sedangkan menurut Khadduri, konsep crusade selain dibentuk Romawi kuno oleh tokoh besar semacam St. Agustine dan Isodorre de Seville juga dikonsepsikan oleh St. Thomas Aquinas pada abad pertengahan.
Fakta adanya konsep crussade dalam agam Kristen dapat dibuktikan dengan terjadinya agresi kaum salibis ke Afganistan. Semula agresi tersebut menggunakan sandi “crusssade”. Namun setelah menuai protes, sandi tersebut diganti dengan “operation infinite justice”. Kata tersebut ternyata juga berasal dari terminology Kristen, yang jika dirunut ternyata kembali kepada konsep “perang salib.”
Umat islam sebenarnya lebih berhak berteriak “bangsa barat –terutama Amerika Serikat- adalah dedengkotnya terorisme.” Dengan bukti bahwa pada tahun 1991, Amerika melalui PBB telah mengembargo Irak. Hal itu menyebabkan lebih dari 600.000 bayi di Irak mati kelaparan. Dalam periode kepemimpinan Taliban (1994-2001), mereka menyerbu afganistan dengan dalih war of terrorism dan mengembargo Negara terebut melalui trik PBB. Ratusan ribu warga palestina dibantai oleh Israel atas restu Pentagon, sementara Amerika Serikat ikut membantu peralatan perang sekaligus finansial Israel. Dunia melihat dengan mata telanjang jika yang menjadi korban ialah murni rakyat sipil muslim. [8]
















DAFTAR PUSTAKA


Anam, Khoirul, Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer, Yogyakarta, Ide Pustaka: 2009.
Chomsky, Noam, Menguak Tabir Terorisme Internasional, alih bahasa Hamid Basyaib, Bandung: Mizan, 1986.
Kopral,Kontekstualisasi Turats, Kediri: Purna Siswa MHM 2005, 2005.
Ramdhun, Baqi, Abdul, Jihad Jalan Kami, alih bahasa Darsim Ermaya Imam Fajaruddin, Solo: Era Intermedia, 2002.
Team Sejarah 2010 (ATSAR), Lentera Kegalapan Untuk Mengenal Pendidik Sejati Manusia, Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010.







[1] Kopral,Kontekstualisai turats, Kediri: Purna Siswa MHM 2005, 2005, hal 224.
[2] Khoirul Anam, SHI., MSI., Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer, Yogyakarta; Ide Pustaka, 2009, hal 155-157. 
[3] Abdul Baqi Ramdhun, Jihad Jalan Kami, alih bahasa Darsim Ermaya Imam Fajaruddin, Solo: Era Intermedia, 2002, hal 11.
[4] Kopral,Kontekstualisasi Turats, Kediri: Purna Siswa MHM 2005, 2005, hal 231.
[5] Noam Chomsky, Menguak Tabir Terorisme Internasional,alih bahasa Hamid Basyaib, Bandung: Mizan, 1986, hal 20-22.
[6] Kopral,Kontekstualisasi Turats, Kediri: Purna Siswa MHM 2005, 2005, hal 238.
[7] Team Sejarah 2010 (ATSAR), Lentera Kegalapan Untuk Mengenal Pendidik Sejati Manusia, Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2010, hal 511.
[8] Kopral,Kontekstualisasi Turats, Kediri: Purna Siswa MHM 2005, 2005, hal 242.

1 komentar:

  1. 2017 ford fusion hybrid titanium
    › products titanium dental implants and periodontics2020 ford ecosport titanium vinic-fusion-pl › products › vinic-fusion-pl May 28, 2018 — May 28, burnt titanium 2018 The fusion fusion combines the ford ecosport titanium traditional fusion recipe with one of the most popular and popular culinary titanium white wheels concepts of fusion cuisine.

    BalasHapus