SUGENG_RAWUH


Sabtu, 21 Mei 2011

Penegakan hukum di Indonesia



Penegakan hukum merupakan suatu polemik yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Meskipun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, yaitu tercapainya kedamaian dan ketentraman sebagai implikasi dari penegakan hukum yang formil.
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna bagi masyarakat. Namun, di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Penegakan hukum yang bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, juga berkaitan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum memang tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses atau tahapan yang saling bergantung yang harus dijalankan serta dipatuhi oleh penegak hukum dan masyarakat yang menuju pada tegaknya kepastian hukum.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, di samping itu anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk terus melanggar hukum, sehingga masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya. Apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah. Sebagian besar masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya. Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya penegakan hukum di negeri ini. Lebih parah lagi, hakim yang menjadi determinan suatu keadilan acapkali menyelewengkan otoritasnya. Tidak hanya berhenti di situ, mafia hukum dan makelar kasus berkeliaran bebas dalam birokrasi hukum indonesia.
Dalam makalah ini akan diuraikan dan dijelaskan nilai dasar hukum, mekanisme dan prosedural hukum untuk menunjang keberlangsungan penegakan hukum di indonesia, sehingga substansi hukum mewujudkan ketertiban dan keadilan masyarakat dapat terwujud.


PEMBAHASAN

1. Nilai-Nilai Dasar Hukum
Hukum tidak dapat ditekankan pada suatu nilai tertentu saja, tetapi harus berisikan berbagai nilai. Sahnya suatu hukum tidak dapat dinilai hanya dari sudut peraturannya atau kepastian hukumnya, tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai yang lain.
Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya, disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian hukum. Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan
Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum. Dengan demikian kita harus dapat membuat kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau dapat mengusahakan adanya kompromi secara proporsional serasi, seimbang, dan selaras antara ketiga nilai tersebut.
2. Penegakan hukum
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
3. Mekanisme dan Prosedural Hukum
Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Kepicikan pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan hukum masyarakat.
Substansi undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat, bahkan sering bertentangan.
Pada taraf dan situasi seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum ekonomi, lalu lintas dan tata kota yang mendasarkan diri maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral tradisional.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Dikarenakan adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
4. Aliran hukum yang berlaku di Indonesia
Indonesia mempergunakan aliran Rechtsvinding (penemuan hukum), ini berarti bahwa hakim dalam memutuskan perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara gebonden vrijheid dan vrije gebondenheid. Tindakan hakim tersebut dilindungi oleh hukum dan berdasar pada pasal 22 AB yang menegaskan “bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka hakim dipaksa atau wajib turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Bilamana undang-undang tidak mengatur suatu perkara, maka hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menemukan dan menggali nilai-nilai hukum yang tidak tertulis yang hidup di kalangan rakyat (living law). Untuk itu, ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Sementara orang lebih suka menggunakan istilah “pembentukan hukum” dari pada “penemuan hukum”, oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada.
Doktrin dan tradisi yang dianut dalam badan-badan pengadilan di Indonesia, telah mengkonsepkan hakim sebatas sebagai corong undang-undang yang mereka temukan dari sumber-sumber formal yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara doktrinal. Pendidikan hukum dan kehakiman di Indonesia telah terlanjur sangat menekankan cara berfikir deduktif lewat silogisme logika formal, tanpa pernah mencoba mendedah mahasiswa juga ke cara berfikir induktif yang diperlukan untuk menganalisis kasus-kasus dan beranjak dari kasus-kasus untuk mengembangkan case laws.
Secara formil yang menjadi sumber hukum bagi seorang hakim pada hakekatnya adalah: segala peristiwa-peristiwa bagaimana timbulnya hukum yang berlaku, atau dengan kata lain dari mana peraturan-peraturan yang dapat mengikat para hakim dan penduduk warga masyarakat yaitu terdiri dari: undang-undang, adat, kebiasaan, yurisprudensi, traktat dan doktrina.
Namun demikian hakim dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, terpaksa harus melihat sumber-sumber hukum dalam arti kata material, apabila sumber-sumber hukum dalam arti formil tidak dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu perkara yang sedang diperiksanya. Di sini perlu adanya kemandirian hakim dalam proses menyesuaikan undang-undang dengan peristiwa yang konkrit, mefungsikan hakim untuk turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak, atau bertindak sebagai penemu hukum dalam upaya menegakkan keadilan dan kepastian hukum.
Menurut von Savigny hukum itu berdasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar dari mana untuk setiap peristiwa dapat diterapkan kaedah yang cocok (Begriffsjurisprudenz). Hakim bebas dalam menerapkan undang-undang, tetapi ia tetap bergerak dalam sistem yang tertutup.
Anggapan bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan yang tertutup (logische Geschlos senheit), pada saat sekarang sudah tidak lagi dapat diterima. Scholten mengatakan bahwa, hukum itu merupakan suatu sistim yang terbuka (open systeem), kita menyadari bahwa hukum itu dinamis yaitu terus-menerus dalam suatu proses perkembangan. Hal ini membawa konsekuensi, bahwa hakim dapat bahkan harus memenuhi ruang kosong yang ada dalam sistim hukum, asal saja penambahan itu tidak mengubah sistim tersebut. Namun hakim tidak dapat menentukan secara sewenang-wenang hal-hal yang baru, tetapi ia harus mencari hubungan dengan apa yang telah ada.
Setiap undang-undang pada dasarnya dibentuk secara in abstracto atau dalam keadaan abstrak, yakni pembentuk undang-undang hanya merumuskan aturan-aturan umum yang berlaku untuk semua orang yang berada di bawah penguasaannya, sedangkan hakim menjalankan undang-undang itu secara in concreto atau dalam keadaan konkrit, yaitu yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu perkara tertentu.
Hakim dalam menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan suasana konkrit untuk menegakkan keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum (rechts zekerheid), harus dapat memberi makna dari isi ketentuan undang-undang serta mencari kejelasan dengan melakukan penafsiran yang disesuaikan dengan kenyataan, sehingga undang-undang itu dapat berlaku konkrit jika dihadapkan dengan peristiwanya.

KESIMPULAN

Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ‘rechtsstaat’. Rakyat harus diberitahu kriteria atau ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu pertanggungjawaban penegakan hukum yang akuntabel. Oleh karena itu dalam membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel perlu ada sosialisasi hukum serta penyuluhan-penyuluhan hukum secara berkelanjutan kepada masyarakat agar penegakan hukum yang akuntabel dapat diwujudkan oleh penegak hukum bersama-sama dengan masyarakat. Tidak hanya itu saja, harus ada kontrol yang memadai di dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Dikarenakan tumbuh suburnya makelar kasus dan suap-menyuap dalam proses peradilan indonesia. Dengan harapan, penegakan hukum di Indonesia dapat terwujudkan sehingga terbentuklah negara yang adil dan makmur sesuai cita-cita bangsa Indonesia


DAFTAR PUSTAKA

Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 11.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1986, hal. 21.
Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hal. 110-111.
Solly Lubis, M, Serba-serbi Politik dan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1989, hal. 48 dan 94-96.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1994, hal. 244.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Cetakan Pertama, Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002, hal. 380.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar