SUGENG_RAWUH


Jumat, 20 Mei 2011

rai gedheg


RAI GEDHEG
Written by: fattach yaseen

Rai gedheg, tak tahu malu, orang sunda menyebutnya sebagai kandel kulit beungeut, orang Madura mengatakan tak endik todus, sementara orang bali akan bilang sing lek, didekat bali tepatnya pulau Lombok orang berbahasa sasak punya istilah, codol kedul atau ngodol. Kearah timur lagi, pulau Sumbawa, warga setempat yang berbahasa bima akan mengatakan tiwara waja. Di kabupaten Flores Timur, warga yang berbahasa lamaholot punya istilah mian take. Selain itu, di Sulawesi Selatan, orang-orang bugis memiliki ungkapan degage siri’na. Nah, diantara berbagai bahasa kemajemukan bangsa Indonesia, bahasa batak yang mempunyai sinonim dengan istilah rai gedheg yang mungkin paling menarik. Bagi sebagian mereka, dang maila mungkin dianggap cukup, akan tetapi ungkapan yang paling tepat kiranya ialah baba nion. Baba berarti wajah dan nion adalah bibir. Bukan bibir sembarang bibir, namun bibir yang super tebal. Begitu tebalnya bibir itu akibat membual, wajahnya sampai tertutupi. Jadi orang-orang yang tak tahu malu oleh orang batak dilukiskan dengan kiasan baba nion.
Dinegeri-negeri barat gudangnya guilt culture(budaya merasa bersalah) berkembang pesat di kalangan masyarakat, banyak sebutan untuk orang-orang rai gedheg. Orang italia menyebutnya la faccio di fil de ferro. Orang jerman punya ungkapan schame dich nicht. Bahasa inggris ternyata yang paling kaya dengan istilah yang berarti rai gedheg, with bamboo wall-face, with unshamed face, dapat juga dengan unembarased or unrespectful face, atau juga pig-headed. Sang pujanga kawakan William Shakespeare punya istilah sendiri untuk mengungkapkan istilah rai gedheg, shameless atau thick skinned.
Berbagai bahasa diatas meskipun beraneka namun intinya hanya satu, menganugerahkan titel bagi orang yang tidak punya ke-malu-an. Begitu pentingnya rasa malu dalam dimensi kehidupan ini, tidak mengherankan jika jauh-jauh hari sebelum bejibun istilah yang membuat lidah keriting mengejanya, Baginda Agung Muhammad saw telah memberikan warning kepada umatnya untuk selalu menggunakan ke-malu-an dalam setiap tindakan,
“Idza lam tastahyi, faf’al mâ syi`ta, (ketika kamu tidak memiliki kemaluan, maka lakukanlah sekehendak kamu).”
Bahkan, saking pentingnnya ke-malu-an, ajaran agama islam memberikan porsi lebih terhadap hal tersebut. Kanjeng Nabi telah mewanti-wanti kepada umatnya lewat salah satu diktum beliau,
Al-Hayâ` min al-Îmân, (Malu merupakan bagian dari iman).
Bayangkan, ke-malu-an yang sering dianggap remeh tersebut diposisikan syarî’at islam menjadi salah satu elementer iman, pra syarat seseorang dapat disebut sebagai mu`min dan muslim. Namun sayang seribu sayang, komplotan pejabat yang dalam KTP mereka tertulis agama islam dan saat pelantikan mengucapkan dua kalimat syahadat seolah mengenakan topeng rai gedheg. Dengan tanpa melirik ke-malu-an, mereka menggasak dan merampas harta rakyat. Parahnya, gerombolan orang yang memproklamirkan diri mereka sebagai intelektual muda islam dengan mengibarkan bendera Jaringan Islam Liberal ngrai gedheg. Tanpa tedeng aling-aling, mereka ingin merekonstruksi ajaran agama seenal udel sesuai analisa dangkal dengan alih-alih pembaharuan dan kontekstualisasi teks. Lebih parah lagi, sindikat yang mengusung jargon ‘kembali kepada al-Qur`an dan Hadist’ juga ngrai gedheg. Dengan berkedok bid’ah, mereka koar-koar menyatakan jika tahlilan sesat, tawassul kufur, orang yang merayakan maulud nabi sama hukumnya dengan orang kafir, parah!!! Lebih celaka lagi, kaum sarungan yang nota bene-nya mempelajari dan mendalami ajaran islam yang original serta sesuai dengan formulasi racikan salaf ash-Shâlihîn melalui usaha elaboratif teks-teks otoritatif hanya berpangku tangan melihat dan mendengar keruwetan birokrasi serta kerancauan pemahaman agama yang sporadis dewasa ini. Seolah telinga mereka disumpeli dan mata disilaukan dengan hal-hal yang kurang begitu penting. Pertanyaannya sekarang, masihkah sekarang kita yang merupakan golongan terakhir hanya berpangku tangan dan tetap setia menjadi klompencapir dengan fenomena kebrobrokan aparatur pemerintah serta kerancauan pemahaman agama yang tengah mengalami titik kulminasi???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar